Rapai Pasee Alat Musik Tradisional Yang Penuh Cerita Mistik


Setelah mendapat telpon dari Bang Agus Pmtoh, jam 3 siang aku menaiki mobil L300 menuju sampoeiniet, Aceh Utara. Jam 8 malam tiba di lokasi desa Cot Murong. Di sana, depan sebuah rumah panggung yang menjadi tempat latihan rapai Pasee, telah tergantung sekitar 20 rapai di bawah kerangka Teratak.

Orang kampung ramai berkumpul, menyaksikan proses latihan. Aku yang baru tiba, langsung di suruh gabung dengan tim pemusik yang duduk di sudut sebelah kiri tangga rumah panggung itu. Tim musik modern yang berkolaborasi dengan rapai Pasee hanya diperboleh menggunakan alat seperti; biola, gambus, suling bansi, dan canang.
Aku yang baru bergabung, masih bingung, dan hanya bisa menyimaknya saja. Latihan selama satu jam usai. Usai istirahat, mereka memulainya lagi.
"Masukin aja biolanya bang, coba cari irama yang tepat". Begitu suruh Iqbal, salah satu pemain gambus dari Lhokseumawe. Akupun mencobanya. Waktu latihan hanya tinggal sehari lagi. Alhamdulillah, aku bisa memadukannya, setelah diberi tahu kapan dan dimana saja masuknya.

Sore Sabtu, kami mengemas alat menuju panggung yang telah dipancang di lapangan bola Sampoeiniet. Malamnya, sekitar pukul sembilan, acara dimulai.
Ada sekitar 30 orang berusia di atas 45 Tahun, yang menjadi penampar rapai malam itu. Rapai-rapai itu di gantung pada Teratak bambu di depan gawang lapangan bola bersebelahan dengan panggung.

Para penonton mulai memadati lapangan. Singkat cerita setelah mendapat kata sambutan dari wakil bupati, dan perwakilan Kemendikbud Jakarta, rapai mulai menggemuruh. Mengantikan rasa kantuk, melesap masuk menjadikan energi yang membuat mata segar kembali.

Image by google


Tepuk tangan dan teriakan penonton adalah obat tambah tenaga untuk kami di atas panggung. Malam terus berlanjut. Suara rapai melambung hingga menggetarkan awan. Jam 12 rintik hujan turun perlahan. Acarapun selesai.

Besoknya, Minggu. Kek Ali datang ke rumah panggung membawakan kopi dan bungkusan kue. Aku yang tidur di kamar depan di bangunkannya. " Bangun-bangun, sudah pagi, heheh".
Akupun bangun, menuju kamar mandi, membasuh muka.

Aku duduk di serambi depan, menemani Kek Ali." Luar biasa acara buklam. That Jai ureung" ( luar biasa semalam. Banyak sekali orang). Sambil minum kopi, aku bertanya tentang rapai Pasee yang ukurannya sebesar talam.

"Rapai Nyoe jameun that ka. ata geupeutren le Abusyik, saboh sapoe. Ladom saboh rumoh na dua. Nyoe Kayee jih manteng bak tualang. Untuk koh bak tualang nyan Jameun, payah Peusijuek. Dan na nan rapai nyan mandum, geuboh menurot leumah lam Lumpoe".

Terjemahan Indonesia:

"Rapai ini sudah ada dari jaman dulu. Pemberian dari kakek kami. Terkadang di rumah ada satu atau dua rapai. Kayunya saja dari pohon tualang. Untuk memotong pohon itu, harus ditepung tawari dulu. Dan semuanya memiliki nama sesuai apa yang terlihat dalam mimpi".

Begitu tutur kek Ali, salah seorang penabuh rapai Pasee. Bahasa kek Ali saat menjelaskan, membuat saya kusyuk menyimaknya. Pohon besar seperti Tualang, Merbau, adalah pohon pilihan untuk pembuatan rapai. Orang tua jaman dulu percaya bahwa pohon sebesar itu ada penjaganya. Muasal dari sanalah rapai tersebut memiliki nama, sesuai apa yang tampak dalam mimpi. Pernah dulu rapai tersebut bersuara sendiri tangan malam. Ketika diselidiki, rapai yang awalnya di simpan di dalam rumah, malah ditemukan di sumur yang berada di belakang rumah panggung. Padahal tidak ada yang menurunkannya.

Kerbau hitam, harimau putih, naga merah, raja ular, dan banyak lagi adalah nama yang tersemat pada rapai mereka. "Maka pantas saja ketika di tabuh, semakin lama kita semakin hilang. Bahkan sampai pagipun kita akan kuat menamparnya". Kata kek Ali.

Kek Ali melanjutkan, rapai Pasee dulu juga di gunakan untuk mengusir gajah liar yang mengganggu kebun masyarakat. "Gajah jika mendengar suara rapai Pasee, akan segera pergi". Kata Kek Ali. "Jika sekarang mengusir gajah dengan suara mercon atau letusan senjata, malah membuatnya sakit hati. Besok gajah itu pasti balik lagi. Jika menggunakan suara rapai kita memberitahunya dengan sopan". Begitulah pagi itu yang semakin akrab menemani percakapan kami.

Kek Ali, berhidung mancung. Kulit putih, berbintik tahi lalat di tangannya. Sesekali kek Ali tertawa menceritakan pengalamannya bermain rapai di Jakarta. Saat rombongan rapai "raja buwah"( nama grup rapai) yang bertempat di desa Cot Murong, Aceh Utara memainkan rapai itu di Shalihara. Lantas diajak oleh beberapa musisi Jepang masuk dapur rekaman. Rupanya orang Jepang tidak bisa meniru suara rapai dengan mulut mereka. "Peng..peng..pak..pak. Hahaha..." Begitu tutur Kek Ali, meniru suara orang Jepang seperti orang berhidung mampet.

Hingga saat ini keberadaan rapa’i masih disenangi oleh masyarakat Aceh sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now