Konsep Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Gampong berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa

Tugas utama Pemerintah dan Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Aceh pada dasarnya meliputi “pelayanan atau services, pemberdayaan atau empowerment, dan pembangunan atau development (Rasyid, 1996: 37-38). Bahkan Osborne dan Gaebler (1993: 49) menandaskan bahwa “pemerintah harus lebih mengutamakan upaya memberdayaan masyarakat ketimbang memberikan pelayanan kepada masyarakat (empowering rather that serving).
Kebijakan pemberdayaan masyarakat senantiasa berkenaan dengan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan lingkungan, yang dalam pelaksanaannya menggunakan strategi “pembangunan yang berpusat pada manusia (people centre development)”, dengan pola implementasinya menempatkan masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama dalam proses pengelolaan pembangunan (community based development management).
Secara konsepsional, pemberdayaan (empowerment) mengandung dua makna pokok, yakni: (a) to give power or authority to (artinya memberikan kekuasaan atau medelegasikan kewenangan kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri); dan (b) to give ability or enable (artinya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan) (Priyono dan Pranarka, 1996: 3). Oleh karena itu, “pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan mamandirikan masyarakat” (Kartasasmita, 1995: 12). Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok (Kartasasmita, 1996: 57), yakni:
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena bila demikian maka sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya; dan
c. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dipertukarkan dengan pihak lain.

Konsep pemberdayaan masyarakat lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (a) bahwa proses pemusatan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (b) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja lemah dan masyarakat pemilik faktor produksi yang kuat; (c) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (d) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Akhirnya akan terjadi dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan “situasi menguasai dan dikuasai”, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). (Priyono dan Pranarka, 1996).

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pada prinsipnya merupakan upaya penguatan masyarakat untuk dapat mengantisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya. (Hutomo, 2000: 28)
Didasari kenyataan bahwa unit kehidupan terkecil dari suatu masyarakat adalah rumah tangga, maka pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan setiap rumah tangga (household), yang mencakupi pemberdayaan sosial, politik dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka-mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah. (Friedman, 1992: 33)
Pemberdayaan dalam bidang ekonomi, Sumodinigrat (1996: 21) menegaskan bahwa dibutuhkan empat akses minimal yang harus diperoleh masyarakat melalui fasilitasi pemerintah, yakni: (a) akses terhadap sumberdaya; (b) akses terhadap teknologi, yakni suatu metode dan teknik pelaksanaan kegiatan dengan cara yang lebih baik dan lebih efisien, termasuk akses dalam mendayagunakan prasarana dan sarana produksi, dan peningkatan keterampilan berusaha, (c) akses terhadap informasi pasar, dan kemudahan pemasaran hasil usaha; dan (d) akses terhadap sumber pembiayaan melalui bantuan dan skim kredit untuk modal usaha ekonomi produktif.
Khusus dalam rangka Pemberdayaan masyarakat dalam bidang Syariat Islam pada rumah tangga sebagai implementasi dari penerapan misi Dinul Islam, dimulai dari pra pembentukan rumah tangga mulalui program pembinaan/bimbingan nikah. Pada tataran kebijakan ini dibutuhkan empat akses minimal yang harus diperoleh masyarakat melalui fasilitasi pemerintah, yakni: (a) akses terhadap sumberdaya yatiu sumber dana, Fasilitator, dan sarana prasarana yang mudah terjaukau masyarakat ; (b) Penetapan kurikulum yang meliputi bidang ilmu Agama ( Tauhid, Fiqah dan Akhlak) bidang ilmu ekonomi rumah tangga, bidang ilmu Sosial kemasyarakatan dan bidang Ilmu politik/kenegaraan serta bidang materi 10 Program Pokok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (d) adanya regulasi yang mengatur salah satu persyarakatan administrasi nikah telah mengikuti /lulus bimbingan nikah yang dibuktikan dengan sertifikat.

Konsep pemberdayaan Masyarakat berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana diatur dalam pasal 112 (3) UU nomor 6 tahun 2014 pada ayat (3) mengatur bahwa, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melaksanakan pemberdayaan masyarakat Desa melalui tiga strategi sebagai berikut ;
a. menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
c. mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa

Pemberdayaan masyarakat Desa dilaksanakan melalui pelatihan dan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan dimana dalam pelaksanaannya wajib mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Lembaga kemasyarakatan Desa seperti Lembaga Pemeberdayaan Masyarakat Desa/ Tuha Lapan Gampong, PKK, dan Karang Taruna/organisasi Kepemudaan dan lain-lain merupakan wadah partisipas masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa sesuai dengan bidangnya masing-masing yang bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. Oleh karena itu dalam Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Dalam mewujudkan konsep perberdayaan masyarakat dan Pemerintah Desa sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi tersebut, Badan Pemberdayaan Masyarakat Aceh mempunyai Visi “ Terwujudnya Masyarakat Yang Mandiri dalam Ekonomi, Bermartabat dalam Budaya Dan Berdaulat Dalam Politik . yang ditempuh melalui misi sebagai berikut :

  1. Pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Gampong;
  2. Penguatan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Gampong;
  3. Peningkatan kreaifitas, produktifitas dan keswadayaan masyarakat;
  4. Percepatan penanggulangan kemiskinan;
  5. Pemantapan nilai-nilai Islami dan sosial budaya dalam pemberdayaan keluarga;
  6. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat Gampong;
  7. Pemanfaatan sumber daya alam melalui desiminasi informasi sesuai kebutuhan melalui gelar Teknologi Tepat Guna (TTG) yang berwawasan lingkungan;
H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center