My Art of Long Distance Marriage

"Kau tahu bagaimana hectic-nya hari ini? Walau tidur telat aku harus segera bangun, membereskan rumah, anak-anak, dan setumpuk tugas domestik lainnya!"

Ujarku di dekat speaker ponsel dan bisa kubayangkang dengan jelas wajahnya di sana. Mendengar dengan saksama dan menyunggingkan senyum khasnya. Aku selalu suka saat ia menarik garis bibirnya ke sudut. Ia terlihat semakin matang dan tentu saja tampan.

"Aku nggak suka laundry yang dulu lagi. Mereka membuat baju kesukaanku rusak, lalu baju Anya juga ada yang hilang." keluhku lagi di ujung telpon.

"Hm, ya... Jadi sekarang bagaimana?"

"Aku sudah move ke binatu satunya lagi, yah, lumayan mengesankan. Lebih rapi dan wanginya tidak bikin eneg."

Ponselku mulai panas, aku beralih mencari earphone.

"Luh... Gantian, dong, kamu yang cerita. Aku pengen dengar..." rengekku manja memancing suara baritonnya supaya terdengar lebih intens. Aku suka juga suaranya. Hm, ya, mungkin sejak dulu. Sejak aku belum mengenalnya langsung, hanya mendengar cuitannya di sebuah radio lokal yang kerap kunyalakan sambil belajar.

"Hm, aku mau dengar ceritamu lebih banyak. Atau tentang Anya."

"Duuuh, tadi tiga jam aku sudah ceritain semuanya. Hm.. Ada lagi, sih. Kamu ingat Bapak Radi yang tinggal di komplek sebelah? Ia tadi memetik kelapa muda dan memberikannya pada Anya dan beberapa tetangga di kiri kanan rumah kita. Daging kelapanya bagus, airnya segar..." ceritaku terus mengalir panjang. Kadang ada lelucon yang sangat tak penting tapi membuat tawanya di seberang sana berderai-derai. Aku semakin semangat "melaporkan" bagaikan reporter di acara live. Sedetail-detailnya dan sejelas-jelasnya.

"Galuh... Nanti pulang aku nggak mau dibawain oleh-oleh, ya. Hehehe...aku mau diuangin aja, dikirim lusa juga boleh. Kamu nggak marah, kan, yaaa?"

"Nggak, kenapa harus marah?"

"Hm, maksudnya rada nggak suka nantinya. Aku nggak mau kamu berpikir aku istri yang nggak bersyukur..." obrolan mulai agak serius dan meredup. Tiga menit lagi hari berganti. Sudah larut pun memang.

"Ah, nggak, kok. Aku merasa selama ini kamu tuh, udah baik banget...nrimo. Apalagi keadaan kita seperti ini..."

"Sepertii apaa, hayooo?" godaku dan ia kembali tertawa kecil.

Aku jarang mau video call, mukaku jelek kalau di-close up begitu. Paling juga nanti waktu ada Anya. Lagi pula aku lebih luwes beraktivitas kalau melalui panggilan biasa. Aku sering menyambi kalau menelpon Galuh. Bayangkan kalau telponan sampai 4 atau 5 jam-an pakai video call.

Pun saat tidak melihat wajahnya, aku bisa membayangkan bagaimana ekspresinya.

"Kamu ngantuk?" Tanya Galuh memecah kebisuan. Dia paham kalau sudah mulai diam berarti aku mulai diserang kantuk. Sebab amat tak mungkin tipikal talk active sepertiku kehabisan bahan obrolan.

"Nggak..belum, sih. Sedang mikirin gimana membujuk Anya membuang Lowo, anak kucing yang suka BAB di kamar belakang." Nah! Dengar! Tahi kucing pun bisa jadi bahan obrolan.

"Oh, jadi btw kenapa nggak mau aku belikan oleh-oleh? Kalau kamu mau beli sesuatu, aku transfer aja besok."

"Ah, nggak ada kok, kamu kirim sesuai budget oleh-oleh kayak biasa aja, deh." pintaku.

Aku tersenyum antara campuran rasa yang ada. Aku tak bisa kesal saat ia membawa pulang blus yang sama sekali tidak cocok untukku yang kata orang fesyenista ini. Tapi aku paham ia sudah berusaha.

Seringkali saling berpikir positif inilah yang selalu menyelamatkan hubungan aku dan Galuh. Walau sudah sepanjang usia Anya yang kini menjelang delapan tahun kami melakukan LDM alias Long Distance Marriage, tapi kami bisa melaluinya dengan aman.

images (1).jpeg

ilustrasi

Banyak yang mencemooh pilihan ini, tapi tahu apa mereka tentang hidup kami. Sesanggup apa mereka jika jadi kami berdua. Juga Anya tentunya. Delapan tahun bertemu hanya di saat weekend atau hari libur. Pernah juga akhir pekan dapat giliran lembur.

"Ndri... Aku kok rindu, ya?" kalimat Galuh menghenyak.

"Hahaha... Tidur, deh, kamu kayaknya mulai ngigau." ujarku mengalihkan. Padahal kata rindu dan cinta paling susah terlontar dari bibirnya, lalu hal itulah yang kerap kutunggu di sela-sela obrolan telepon kami.

Aku sendiri berusaha tidak terlampau mengumbar kalimat serupa. Pulanglah, kamu kapan pulang? Kamu nggak rindu aku atau Anya? Kamu cinta nggak, sih, sebenarnya? Dan kalimat yang hanya menambah beban rasa. Aku kerap menghindarinya. Ah, kata semacam itu walau tak diungkapkan pun akan sangat kentara dari cara kita bercerita dan siapa pula yang tak rindu pada sosok separuh jiwa?

Jadi, kalau ada yang lain tiba-tiba berkomentar hubungan seperti ini tak sehat, atau kenapa aku mau seperti ini, kurasa ia perlu melepaskan kacamata kudanya sebelum bicara.

"Sampai jumpa di Whatsapp chat besok, yaa!"

"Hm."

"Hm..apa?"

"Ya yang tadi itu."

"Tadi mana?"

"Ada, deh..."

"Haha, Galuh kamu yang jelas, dong!"

"Aku udah jelas lelaki tulen suami Andri." candanya garing.

"Haha..baiklah. Tutup telponnya." katanya.

" Eeh, kan, kamu yang menelpon tadi. Kamu, dong, yang nutup."

"Lah, aku udah nelpon, kamu yang nutup, dong. Itu baru adil."

"Ih, mana bisa begitu!

Detik jarum jam berjalan, hari berganti. Terkadang kau baru tahu di rongga hatimu ada cinta yang penuh ketika ia diisi dengan rerimbun rindu merambat di sekujurnya.

Haruskah kuungkap cinta jika rindu kerap dieja di hela-hela napas.

_Bumi Asri_Penghujung April.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center