Nyawa di KTP Merah Putih, dan Kontak Senjata Perihal Kematian

image
Sumber foto IG @marxause
Oleh: Jufrizal M. Daud.

19 Mei 2003 silam, umurku delapan belas tahun. Hubungan Jakarta dan Aceh semakin memanas. Pemerintah Megawati mengumumkan Darurat Militer (DM) di Aceh. Di masa itu pula warga Aceh diharuskan mengganti kartu indentitas penduduk “KTP Merah-Putih”. Sesuai sebutannya, kartu itu berwarna merah dan putih, berukuran lebih besar dari kartu indentitas penduduk di Indonesia pada umumnya, dan menggunkan lambang Negara Pancasila sebagai logo.

Tentara sering mondar-mandir di kampung-kampung. Sementara orang-orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menginap di hutan. Meski kadang-kadang tentara dan GAM sempat berpaspasan di hutan yang sama, dan terjadi kontak senjata. Tapi masyarakat sipil tetap jadi korban.

Saking sering kontak senjata, orang-orang kampung mengungsi ke meunasah atau musalla. Sementara orang-orang lelaki dewasa harus mengamini perintah penguasa militer untuk membuka pos ronda di kampung masing-masing. Mengetahui ada namaku tertera didaftar pos ronda. Aku dan orang-orang yang tertera namanya menjadi ketakutan. Tak ada yang bisa menjamin kita besok hidup atau mati.

Mengetahui ada kontak senjata, masyarakat sipil terus-terusan tak bisa menjamin keselamatannya, artinya akan ada orang bersenjata menemui sebagian orang sipil dan kemudian mengatur pertemuan orang sipil itu dengan Tuhan.

Pernah suatu ketika, kerabat dari Ayah ku merenggang nyawa di ujung senapan. Ia bekerja sebagai tukang ojek. Hari naas itu, sepeda motornya disewa seseorang. Setelah kontak senjata reda, sepeda motornya ditemukan tentara tidak jauh dari lokasi kontak senjata.

Tentara yang sedang murka mendatangai rumahnya. Mereka bicara meledak-ledak di teras rumah. Lantas dia ditendang bertubi-tubi dan ditinju dengan popor senjata. Keluarga lainnya menjerit-jerit dan sebagian berusaha membantu.

Akhirnya dia tergeletak di teras rumah. Nafasnya tersengal-sengal. Dia dia diikat dan diseret ke pusat kota kecamatan. Beberapa warga sipil sudah dikumpulin di sana. Para lelaki itu tidak boleh bubar. Mereka menonton kerabat aku di tembaki membabi buta dengan senjata minimi. Tragis, mayatnya hampir terbelah dua. Tak puas, mayatnya pun diseret-seret sepanjang jalan dengan sepeda motor.

Bagi Aku dan sebagian orang Aceh berangggapan: KTP Merah Putih adalah nyawa, dan kontak senjata adalah kematian.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now