Kesaksian Soeryadarma Isman: Penyair Peka Terhadap Alam dan Kemanusiaan

Mendapat Sebuah buku antologi puisi “Sapa” dari penulisnya. Diterbitkan oleh Pena House, Blora, Jawa Tengah. Maret 2016. Sampul di desain oleh Islahuddin (dek Sir).
Sesuatu yang luar biasa. Soeryadarma Isman, kini berusia 14 tahun. Teringat belasan tahun lalu, ketika di kota dingin Padangpanjang, Sumatera Barat. Soerya masih dalam gendongan Abinya, Sulaiman Juned. Pertemuan yang singkat. Dari tahun 2003. Tidak pernah terpantau lagi perkembangannya . Ternyata sejak dari duduk di Sekolah Dasar, soerya telah memulai kreatifitas kepenyairannya, karya-karyanya terbit dalam antologi bersama dua penyair cilik lainya berjudul “Negeri di Atas Langit” yang juga dijadikan skripsi oleh Hakimah Rahmah Sari mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat.
12512230_937502656357527_1945341511275304820_n.jpg
Tujuh puluh karya puisinya, dalam “Sapa” ini, salah satu diantaranya, soerya menyapa dirinya ketika sakit, sangat tidak mengenakan hanya berbaring dan terkurung di dalam kamar. Hal ini menjadi pelajaran, sebuah momentum melihat dan membaca dirinya, begitu takut pada ‘kemurkaan-Nya’, perenungan Soerya tumpah pada sajak “Membaca Hidup” :

Setiap datangnya sakit
Agar tak sombong jika sedang sehat

Setiap datang miskin
Agar tak angkuh jika sedang kaya

Setiap datangnya bahagia
Suatu ketika akan datang sengsara

(Mari membaca hidup agar Tuhan tak murka)
IMG_20180206_110810.jpg

Diksi yang sangat sederhana, namun bernasehat indah. Tanpa hambatan, mengajak kita membaca diri dan menyelami diri. Pengalaman yang sama dan akan menimpa kita. Lompatan imajinasi yang begitu cerdas. 
Lima tahun sudah Soeryadarma Isman melakukan perjalanannya di Aceh, sudah tak terkira merekam segala peristiwa. Seperti tradisi menyambut bulan Ramadhan, di sebut dalam bahasa Aceh dengan Makmeugang. Prosesi penyembelihan kerbau dan sapi, dagingnya yang telah masak menjadi gulai, di bagikan kepada fakir miskin, anak yatim dan para janda. sajak “Makmeugang” ini memotret kebersamaan masyarakat, sejak masa kesultanan Aceh. Lalu soerya bertanya /mameugang ini kali/apakah yang kaya mau berbagi kepada yang papa//. Sebuah pertanyaan yang memberi kesadaran bagi kita untuk peduli kepada sesama.
Kepekaan sebagai seorang penyair remaja begitu tajam, soerya merekam peristiwa yang  menyesakan dadanya dan begitu terenyuh, ketika menyaksikan masyarakat mengepung, mengurung rumah dinas pejabat daerah. Hanya untuk mendapatkan uang yang tidak seberapa. Sajak “Hanya Seratus Ribu”…/mengejar belanja makmeugang/hasilnya tak cukup untuk sekilo daging/…wajib membeli daging untuk anak isteri tapi bukan dengan meminta/. Diksi yang lugas dan lugu, tapi justru dewasa, menyaksikan fenomena tanah kelahirannya.
Tak sangka, soerya, bagitu marah, masih banyak koruptor  di negeri tercinta, tersayat hatinya. Kritikannya meradang dalam sajak “Hukuman Mati” …/menyaksikan para koruptur/adalah kejahatan yang teroganisir/sebagai prilaku busuk, hukuman yang setimpal/adalah hukuman mati//. 

Alam negeri ini telah menempa soerya, memproses perjalanannya sebagai anak bangsa yang hidup dan tumbuh, telah menjadi bagian sebagai masyarakat sosial. Mengkritisi ketidakbenaran dan ketidakadilan. Terbaca jelas pada karya lainnya “Mari Ucapkan Selamat Malam Kepada Koruptor” Ia menyebutkan ../sebab sama saja sebagai pengkhianat negeri/… Soerya meminta maaf kepada presiden atas kelancangan, untuk tidak membubarkan KPK, diungkapkannya dalam sajak “Pak Presiden Ini Dengar Laporanku” …/sekali lagi aku minta maaf dengan sungguh pak presiden/jangan bubarkan KPK karena mereka yang mampu/membersihkan negeri dari para penjahat ini//.
Sangat mengelitik, ketika membaca “Memo: Catatan Harian Kepada Wakil Rakyat”. Tidak berbasa-basi, pandangan skeptis, begitu tegas menyindir para wakil rakyat, berikut nukilannya…/dimasa ini, jika tak pernah mengurus rakyat/biar rakyat saja bersidang memikirkan rakyat/tak perlu ada wakil rakyat//. Lalu soerya bingung kepada siapa harus melapor? Di dalam “Laporan” nya mengatakan…/kenapa siapa harus melaporkan kekecewaan ini/… Soerya begitu ‘pedas’ mengkritisi para “Wakil Rakyat” dalam sajak ini ia bertanya kepada mereka (wakil rakyat)./mau jadi wakil rakyat/kenapa jadi konglomerat//mau jadi wakil rakyat/ kenapa seperti penguasa negeri// mau jadi wakil rakyat/ kenapa tidak berpihak kepada rakyat//. Dan “Negeri Para Babu”, Ia melihat DPR menjelma menjadi borjuis. Begitulah ‘kemarahan’, soerya. Lentingan imajinasi melampaui batas usianya kini.
Kepolosan seorang anak yang masih belajar hidup, dari sejak lahir hingga mencapai usia remaja saat ini, begitu mampu menyentuh relung batin, haru. Kejujurannya merindingkan jiwa, Ketika subuh selalu mengintip ibunya, ia belajar mencintai, terutama kepada kedua orang tua. Ketulusanya terbaca pada sajak “Mamak dan Abi Padamu Aku Belajar Mencintai”. Kita lihat nukilan bait terakhir:

…Setiap subuh
Kuintip Mamak usai bersujud
Kecintaan terhadap Abi dan aku anakmu
Melebihi segalanya, padamulah tempatku berteduh

Terdengar bisikan doa ibu, kepada Abi dan dirinya, seperti melebihi rimbunnya pohon-pohon, cinta dan kasih sayang ibu, adalah keteduhan melebihi segalanya. Mengharubiru, cukup mengaburkan pandang karena ditutupi linangan air mata.
Lalu soerya berjanji, dalam “Suatu Ketika Nanti” bergiat belajar untuk membahagiakan kedua orang tua, menjaganya sepanjang usia, memohon diberi kesehatan, agar bisa mengabdi. Juga mengalami kerinduan yang amat sangat ketika jauh dari Abinya Betapa tak habis-habis “Seperti Ombak Pada Laut” rindunya kepada Abi. Ada “Pesan” untuk ibunya, ketika berulang tahun, agar sabar yang selalu ada hikmahnya. Tidak lupa “Menyapa Guru” yang memberi cahaya pada kelam malamnya.

IMG_20180206_110714.jpg
Antologi “Sapa” ini, soerya , menegur kita pada halaman terakhir, agar selalu mengingat kepada Tuhan, sajak “Lupa” dibait pertama /janganlah suka melupai/sebab Tuhan dengan ikhlas memberi// Terasa kekentalan religius, muatan perjalanan empiriknya. Menuju kepada pencapaian pensucian diri.
Soeryadarma Isman, seorang remaja yang bertalenta langka, namun dingin, mampu menyejukan pembacanya. Seorag penyair belia, memberi kepada kita begitu banyak pelajaran. Abinya Sulaiman Juned, seorang Doktor Penciptaan Seni Teater, Teaterawan, dramawan juga sastrawan. Begitu tekun merawat buah yang jatuh, tidak jauh dari pohonnya. Merawatnya dengan doa-doa. Begitu tumbuh dan begitu sangat berguna, adalah sebuah berkah yang indah. Soerya telah menyapa dirinya, menyapa kita bahkan menyapa semesta.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center