PELAJARAN DARI FRAU KASCHMAREK

Zahra Fona

Rambutnya cepak ala tentara, kelimis dan rapi. Bila dilihat dari dekat,sebagian rambutnya sudah memutih. Namun begitu, gerakannya sangat gesit. Sering memakai blus simpel dan celana ¾ warna putih. Wajahnya jarang tersenyum, dan jarang bicara. Bila aku mengantar seprei kotor ke dalam keranjang khusus dekat tangga, tak jauh dari ruangannya, lalu menjumpainya untuk meminta seprei bersih, ia hanya menjawab: “Ja” sambil mengambil seprei yang kumaksud dan menyerahkan kepadaku.
Di lain waktu, ia datang tba-tiba setelah jam sarapan ke dapur umum yang dipakai oleh penghuni asrama sebagai tempat memasak. Ia memeriksa setiap detil ruangan, peralatan dapur, dan kisi-kisi kompor.
Aku sering memasak telur dadar untuk sarapan, simple dan praktis, plus bergizi tinggi (ehm). Mengelap kompor setelahnya sampai mengkilat. Kami diwajibkan membersihkan kompor segera setelah menggunakannya. Meskipun begitu, sering kudapati kompor dalam keadaan penuh percikan minyak goreng maupun sisa memasak sebelumnya yang tidak dibersihkan, entah siapa oknumnya. Setahuku yang sering memasak hanya mahasiswa Asia. Selain aku dan empat orang Indonesia lainnya, ada beberapa orang Pakistan dan India yang doyan masak. Mahasiswa Jerman sering hanya memanggang pakai oven, atau hanya bikin salad sayuran dan ngoles roti dengan mentega.
Senin pagi yang agak dingin, masih transisi musim panas ke musim dingin, aku ke dapur untuk mengambil jus di kulkas sebelum berangkat kursus. Sudah ada Frau Kashcmarek dan seorang anak buahnya di sana, juga perempuan, yang sehari-harinya membantu Fr. Kaschmarek menyapu, mengepel, dan membuang sampah dari tong sampah dapur. Mereka sedang ‘merazia’ kulkas. Beberapa bahan makanan dikeluarkan dengan sadis dan dimasukkan ke tong sampah.
“Ini daging ayam sudah dibuka bungkusannya, harus ditutup rapat sebelum disimpan di kulkas, kalau tidak, bakteri akan mnyebar ke mana-mana dan mengkontaminasi makanan lain.”
Ia memegang bungkusan paha ayam yang baru digunakan dua potong itu, sisanya masih sekitar 5 potong, tanpa ampun dicemplungin ke dalam tong sampah. Aku hanya bisa memandang miris, soalnya mencari daging ayam yang berlabel halal bukan perkara gampang, dan mahal pula, hiks! Berikutnya daging sapi dan sosis yang tidak tertutup rapat juga bernasib serupa. Aku mengelus dada..lagi-lagi. Kami berlima mengumpulkan uang untuk belanja makanan bersama untuk seminggu 10 euro per orang. Minggu ini pastinya ada pengeluaran ekstra. Tapi, bukan hanya punya kami yang di’adili’, beberapa bahan lain yang entah punya siapa, juga kena ‘hukuman’, dikeluarkan dari kulkas. Kulkas berfreezer luas dengan laci empat tingkat itu pun menjadi longgar. Padahal sebelumnya penuh sesak dengan berbagai daging, ikan, ayam, sosis, dan lainnya. Oya, meskipun semua penghuni lantai 3 ini yang kuprediksi tak kurang dari 15 orang menyimpan bahan makanannya di kulkas yang sama, bertindih-tindih, tidak pernah sekalipun ada yang mengambil punya orang lain. Sungguh hebat.
Hari itu di dapur aku menjadi pesakitan, dan herannya tak seorangpun mahasiswa lain ke dapur saat itu, apa mereka sudah punya bocoran bakal ada razia ya? Ehmm…
Setelah kulkas selesai, giliran kompor. Frau Kachmarek menunjukkan padaku bahwa kompor tdk bersih dilap, masih ada sisa minyak lengket di situ. Kompor listrik dua mata itu digosok dengan ujung telunjuknya lalu ditunjukkan padaku kalau itu masih lengket.
Lalu ia menunjukkan beberapa cairan pembersih yang disimpan di bawah meja dapur, ada yang berwarna putih kental, hijau, dan kuning.
“kamu semprotkan cairan putih ini ke mata kompor, lalu gosok dengan sabut aluminium.” Ia menjelaskan dengan bahasa pelan sambil menggosok dengan cepat, sehingga kerak hitam terlepas dari mata kompor berbentuk lempeng itu.
”Kemudian, untuk bagian sisi kompor yang berwarna putih, semprotkan cairan hijau atau kuning, lap dengan tissue,” lanjutnya.
Hah? Lap pake tissue? Aku memperhatikan seksama, takjub akan ketelatenan membersihkan kompor. Kubandingkan dengan di kampungku, kalau membersihkan kompor cukup hanya dengan kain buluk, kalau terlalu berminyak kompornya ya pake air aja dikit, lalu lap lagi. Rupanya di Jerman, lap kompor aja harus pake cairan khusus dan tissue. D kampungku, tissue toilet aja dipakai untuk lap tangan dan mulut, konon tissue bagus seperti ini, masa dipakai untuk lap kompor? Oh Tuhan.
Hasilnya? Kompor mengkilat seperti baru. Tapi ritual ini tentu saja membuat selera memasak menurun. Kalau mau memasak, masih mikir, waktu cukup tidak untuk membersihkan kompor? Sebagai contoh, menggoreng telur dadar cm 3 menit, bersihin kompor bisa 10 menit..ufh. Bayangkan kalau masak gulai, goreng ikan bandeng, yang pake acara meletup-letup? Uuhhh percikan minyak dan lemak bukan cuma di sekitar kompor, bisa ke atas dinding, ke lantai dan ke tempat dengan jarak 4 meter. Jadi mikir-mikir kalau mau masak, apalagi yang berat-berat. Akhirnya, kami yang dari Aceh, membuat kesepakatan memasak bersama, dan ada satu orang yang bertugas membersihkan kompor seusai masak. Karena hanya ada satu cowok dalam grup yang tinggal di lantai 3 ini, beliaulah yang selalu harus membersihkan kompor, para perempuan 5 orang, bertugas memasak secara piket harian.
Apa konsekuensi kalau ‘tak pandai’ menjaga kebersihan kompor? Tak lama setelah demo membersihkan kompor di lantai 3, kasak kusuk di lantai 2 seorang kawan mengeluh tak bisa menghidupkan kompor. Setelah beberapa saat menunggu, kompor tak kunjung memanaskan kuali, barulah diketahui kompor bermasalah. Wal hasil, mereka menumpang memasak di lantai 3, tempat kami. Tentu saja dngan perjanjian harus segera meng’kilatkan’ kompor kami setelah pakai.
Teryata eh ternyata, aliran listrik ke kompor di lantai 2 diputus gara-gara kompornya kotor ketika diperiksa. Ohhh. Karena takut tak hidup kompor, kami pun sangat konsen dengan kebersihan kompor dan dapur. Sehingga, sebulan di Marburg, selain melatih kami untuk pandai cas cis cus pakai bahasa Jerman, juga menjadi ahli merawat dan membersihkan dapur, lho.
Pada hari terakhir berada di Marburg, kami harus membersihkan kamar masing-masing sebelum meninggalkan kota ini. Perabotan kamar harus diletakkan seperti pertama kali kami mendiami kamar ini. Aku telah menggeser tempat tidur dan meja ke posisi yang berbeda, untuk membunuh monotonisme, ya tentu saja aku harus meletakkannya kembali seperti semula. Bed cover kubuka, seprei dan sarung bantal aku buka dan kulipat kuletakkan di atas kasur, lantai aku sapu sebersih-bersihnya. Oya, kami tidak diminta mengepel ya, hanya membereskan kamar dan mengambil semua barang-barang kami. Yang tidak terpakai harus dibuang. Pagi-pagi aku sudah menyelesaikan tugasku. Pukul 8.00 pagi, Fr. Kashcmarek datang memeriksa kamar, ia membawa kain pel, ember, dan sapu. Lalu minta izin memasuki kamarku. Ia menyapu kembali kamar yang sudah kusapu, lalu memeriksa lemari, mungkin ada sisa barang. Kemudian mengepel. Barang-barangku sudah kumasukkan koper dan kuletakkan di luar kamar. Sekantong plastik sampah juga bertengger di sisi dinding. Sambilan mengerjakan tugasnya, ia menceritakan tentang keluarganya, hal yang tidak pernah dia lakukan selama sebulan ke belakang. Jangankan menceritakan keluarga, ngobrol terpanjang seingatku hanya ketika mengajariku mengkilatkan kompor.
“Saya punya seorang anak perempuan, umur 35 th, “ katanya.
“funf und dreizig?” Ulangku memastikan, karena menyebut angka puluhan dalam bahasa jerman terbalik, duluan menyebut 5 baru 3. “ Jadi, umurmu?”
ia tersenyum, hal yang baru pertama kali kulihat selama berada di asrama ini. Kenapa keramahtamahannya muncul justeru di saat akan berpisah? Aku mendadak mellow.
“65” jawabnya sembari meneruskan mengepel.
“Was? Du siehst sehr jung aus!” Aku tentu saja kaget, kupredeksi umurnya tak lebih 48 atau 50 udah harga mati. Di kampungku (lagi lagi) umur 65 udah gak kerja seperti ini lagi, pasti udah pensiun, jaga cucu di rumah, atau pergi mengaji setiap jumat, hehe. Banyangkan, nenek nenek nyapu dan ngepel, apa gak kumat encoknya?
“Zahra, kamarmu yang terbersih saya lihat dibandingkan kamar teman-temanmu yang lain. Mereka malah meninggalkan bnyak debu dan sampah untukku di kamar. Sementara kamu sudah membersihkan dan merapikan semuanya, kamu hebat.”
Ah, gak salah denger? Fr.Kaschmarek memujiku? Teringat insiden dapur, aku pesakitan yang terpojok saat itu, ia bertubi-tubi menghantamkan kesalahan-kesalahan itu padaku. Tapi kini, ia balik memujiku? Aku yakin ia tidak sedang bergurau apalagi menghiburku. Binar ketulusan terpancar. Aku tahu mukaku sedikit merona hahaa.
Tak terasa, sebulan berada di Marburg, sebuah kota kecil nan cantik dan damai, mengajarkan banyak hal mengenai kehidupan, terutama kebersihan, bagaimana menjaga kebersihan dan higienitas dapur, begitu juga kamar. Tidak kutemukan dalam pelajaran manapun selama sekolah sebelumnya, selama di rumah, dan selama kuliah di Dresden setelahnya.

Mencoba menulis ulang tulisan yang hilang. 02 Ramadhan 2016

Was? Du siehst sehr jung aus = Apa? Kamu terlihat masih sangat muda
funf und dreizig = 35

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now