Asap Fatamorgana

smoke.jpg

Aku masih menatap dengan sorot mata menyimpan beban, seolah terlalu tua memikirkannya, kawanku terus mendengarkan, hingga aku berhenti berkata. Aku menunggu tanggapannya, "Sebenarnya apa yang kau cari dari sebatang rokok itu, Ulama Saudi sudah menfatwakan haram". Aku tersadar itu memang benar, dalam benakku terfikirkan kapan bisa berhenti, aku iri padanya kenapa dia bisa demikian. Apakah ia tak ingin mencobanya barang sebatang?

Aku sering melihat iklan layanan masyarakat, para perokok itu didera penyakit akut, hingga sulit bernafas. Bahkan di bungkusan rokok terpampang gambar mengerikan, cukup menggelikan kawan. Sekali aku duduk dengan sang kawan, tampak dia mengibas tangannya ke udara, membuyarkan kepulan asap yang mengarah padanya. Padahal aku senang melihat asap mengepul di angkasa, melepas kebekuan saat tidak ada yang aku kerjakan.

Aku merasa ini sia-sia, mungkin jika aku tidak mengkonsumsinya terus-menerus aku bisa membeli mobil, dan memberi pada siapa yang membutuhkan. Dulu aku marah pada diriku sendiri yang tak bisa mengontrol diri, dengan uang pas-pasan mencoba menahan diri. Sebatang demi sebatang akhirnya hampir satu bungkus juga. Padahal untuk makan saat itu masih hemat. Akhirnya terpaksa makan sekedarnya.

Contoh demi contoh melintas di depan mataku, salah satunya ayahku sendiri, yang harus tersiksa melawan penyakit jantung yang menghinggapinya. Dia pun pergi meninggalkan dunia ini. Selama tinggal di kos-kosan, aku belajar untuk tidak mengeluh, membuang sesuatu yang sia-sia yang hanya kenikmatan sesaat. Bak fatamorgana di gurun pasir, dikiranya air menyejukkan, padahal hanya ada pasir yang membuatnya dahaga.

Aku mulai membiasakan diri mengekang diri, hingga bebas sebebas sebebas merpati, tanpa beban layaknya deruan angin. Namun masih di rumah berdinding triplek itu, aku melangkahkan kaki dengan gontai seolah tiap hari aku diliputi beban. Aku duduk merebahkan punggung di teras rumahku memandang sejenak ke arah jingganya cakrawala, bertanda hari sudah senja. Tak lupa tarikan asap menghangatkan dinginnya sore.

Disinilah aku terus memikirkan apa-apa yang telah berlalu. Sejenak kemudian kawanku pulang dengan sapaan hangat, “Sendiri saja kau?” Aku tersenyum saja, dalam hatiku, “Aku masih disini, belum ada yang bisa kukerjakan, kawan”. Saat itu tiap hari aku mengikrarkan janji berubah. Namun aku kala itu masih termakan perkataanku sendiri tentang arti perubahan itu sendiri.

Maka mulailah aku ke perpustakaan mencari buku-buku inspirasi dan motivasi, setelah aku baca semangatku bertahan beberapa hari dan kemudian redup kembali. Aku sempat berfikir biarlah aku berjalan apa adanya, tanpa perlu memaksakan diri. Sebenarnya kawanku banyak memberiku inspirasi, kebanyakan mereka adalah orang yang kuat berkomitmen tinggi, untuk tetap bangkit dan bangkit sekali lagi.

Aku pun berkata aku harus melihat orang yang melebihiku dalam soal kedisiplinan, mereka telah menang beberapa kali melawan dirinya sendiri lebih tepat godaan nafsunya. Sedang aku berkali-kali ditebas rayuan menyesatkan hingga terkubur dalam penyesalan. Aku sering berdo’a agar kehidupanku menjadi lebih baik, moga-moga jalan ke sana datang sendiri, dan tak sadar aku ikut didalamnya dan menemukan diriku sendiri berada dalam kesuksesan.

Semua itu mungkin saja, karena tidak ada yang tidak mungkin. Namun kadangkala sesuatu butuh sebab, dan sebab itu salah satunya adalah ikhtiar. Ikhtiar itu wajib dan setelah itu bertawakkal pada Allah semata. Kemudian hari aku mulai sadar sudah sekian kali aku tenggelam dan saatnya aku membenahi diriku perlahan-lahan, mumpung aku masih punya kesempatan dan kekuatan.

Sebelum kekuatan ini lemah karena bertambahnya usia. Aku adalah anak manusia yang sedang membidik tujuan. Kadang angin timur menyemangati perubahan, kadang juga angin utara yang akan memporak-porandakan, semua aku lukiskan dalam bait untaian dari senja sampai malam untuk sejenak melepaskan beban. Banda Aceh, 2008.

photo by pixabay.com

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now