Mendengar Cerita Kepala Dipenggal di Ulee Lheue


Saya sibuk mengarahkan Smartphone Android keluaran China ke batu-batu nisan berukiran gambar bulan-bintang, lalu saya menyentuh layar di tulisan record. Biasanya hasil rekaman tersebut saya edit, lalu saya masukkan ke YouTube. Sedangkan Wazir berpindah-pindah tempat mencari angle yang cocok untuk mengabadikan foto dengan kamera Nikon-nya.

Kami berdua berada di tengah-tengah kuburan komplek pemakaman Teungku Raja Dibitai (Sultan Selahaddin) bersama keturunan-keturunannya. Beliau merupakan seorang ulama pada zaman kerajaan Aceh yang berasal dari Turki. Seperti tertulis dalam sejarah bahwa kerajaan Aceh dan Turki mempunyai hubungan erat.
IMG_20180415_094003-02.jpeg

“Sudah dapat semua gambarnya?” tanya saya kepada Azir.

“Oke, udah!” jawabnya. Lalu kami sepakat untuk pulang.

Beberapa langkah menuju pintu keluar, tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil kami dari belakang. Ia berdiri di luar pagar selatan.

“Dari universitas mana, Nak? Tanya ibu itu.

“Nggak, Bu. Kami bukan dari kampus. Kami hanya ingin mengambil gambar saja di sini. Kami suka sejarah dan ingin tahu banyak tentang sejarah Aceh. Karena di sekolah dulu di pelajaran Sejarah tidak banyak menceritakan tentang sejarah Aceh,” jelas saya kepada ibu itu.

Mendengar penjelasan saya, ibu paruh baya yang bernama Azimah tersebut tersenyum. Beliau senang dan menawarkan diri untuk memandu kami berkeliling makam Teungku Dibitai serta menceritakan sejarahnya.
sumber

Keturunan dari Teungku Dibitai
Bu Azimah meminta izin sebentar untuk meletakkan sayur-sayuran ke dalam rumah. Ia baru saja pulang dari pasar. Ia masuk ke dalam rumah sederhana tepat di sisi pagar barat komplek pemakaman.

Dari percakapan di tempat tersebut, Bu Azimah mengakui bahwa beliau punya aliran darah dari Teungku Raja Dibitai. Ia merupakan anak dari Teungku Abdul Aziz, keturunan ke 7 dari Teungku Dibitai.

“Saya masih menyimpan beberapa barang-barang dan dokumen-dokumen peninggalan dari Teungku Raja Dibitai. Sudah banyak yang datang minta beli dengan harga yang tinggi. Namun saya tidak memberikannya, karena ini adalah orang tua dan kakek-kakek saya. Dosa besar saya jika menjualnya,” ujar Bu Azimah.

Kepala yang Putus Dipenggal
Sebenarnya banyak cerita dari Bu Azimah yang ingin saya tuliskan. Namun dalam postingan ini saya ingin berbagi tentang sebuah kisah menarik tentang sejarah Ulhee Lheue versi Bu Azimah.

“Ulhee Lheue yang sebenarnya adalah Ulee Lheuh, dalam bahasa Aceh kepala yang lepas atau putus. Itu merupakan kepala dari Hamzah Fansuri, salah seorang ulama Aceh zaman dahulu. Kepalanya dipenggal karena dianggap beliau telah sesat,” ungkap Bu Azimah.

Orang-orang yang memenggal kepala tersebut, lanjut Bu Hazimah, telah salah faham tentang amalan zikir yang dilakukan Hamzah Fansuri. Mereka menganggapnya telah sesat dan layak dihukum mati. Tidak boleh lagi dibiarkan hidup agar tidak menyebarkan fahamnya yang dianggap sesat itu.

“Beliau lalu dipenggal di lokasi yang sekarang dinamakan Pantai Ulee Lheue. Kepalanya lheuh (lepas/putus). Sebuah keajaiban telihat pada masa itu. Dengan kuasa Allah, karena beliau adalah orang saleh yang difitnah, ia berjalan menyusuri pantai dengan membawa kepalanya yang sudah putus hingga sampai ke Ujong Pancu. Di situ, beliau naik ke sebuah tempat tinggi, lalu dengan kehendak Allah tanah terbelah, ia masuk ke lobang itu, lalu tanah tertutup kembali. Di situ lokasi kuburan Hamzah Fansuri sekarang,” cerita Bu Azimah.

Oleh karena itu, lanjut Bu Azimah, lokasi pemenggalan tersebut dinamakan Ulee Lheueh. Entah bagaimana ceritanya, sekarang telah berubah menjadi Ulee Lheue.

Begitulah cerita Bu Azimah tentang sejarah Ulee Lheue. Saya dan Wazir khusyuk mendengarnya.
Keakraban semakin terlihat saat saya memberitahunya saya berasal dari Aceh Selatan. Bu Azimah pernah menuntut ilmu selama 5 tahun di Dayah Darussalam Labuhannhaji, Aceh Selatan. Sebuah lembaga pendidikan Islam terbesar di Aceh yang didirikan oleh ulama kharismatik Aceh, Syekh Mudawali Al-Khalidi.

Saya mengatakan ayah saya (almarhum) juga pernah menimba ilmu di Dayah tersebut. Saya menampakkan foto ayah di smartphone. Ternyata beliau mengenalnya.

“Besok-besok silahkan datang kemari. Ibu selalu siap menyambut. Kalian adalah anak-anakku, apalagi saya mengenal ayahmu. Silahkan datang lagi, Nak!” ucap Bu Azimah.

Lalu kami pamit pulang.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center