Membawa Pulang Tjoet Nyak Dhien - Sebuah Monolog Sha Ine

![Penampilan Monolog Ct Nyak Dhien di Banda Aceh.JPG](

Setelah 111 tahun diasingkan Belanda ke Sumedang, Jawa Barat, pada pertengan Desember 2016 malam pekan lalu, Tjoet Nyak Dhien “pulang” ke rumahnya, Tanah Rencong. Adalah Sha Ine Febriyanti yang membawa pulang ibu rakyat Aceh itu.   Tjoet Nyak Dhien hadir dalam diri Sha Ine. 

Di atas pentas di gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melalui monolog, Sha Ine berhasil membawa pulang Tjoet Nyak Dhien untuk mengobati kerinduan masyakat Aceh.   Sekitar 700 orang yang hadir malam itu terkesima, “Saya sampai menangis, walaupun Tjoet Nyak Dhien sudah lama meninggal, malam ini rasanya dia benar-benar hadir,” kata seorang penonton malam itu.   Sebenarnya monolog Tjoet Nyak Dhien ini sudah pernah dimainkan beberapa kali di Jakarta. 

Namun, konteksnya berbeda saat dipentaskan di Aceh, tanah lahir Tjoet Nyak Dhien. Pesan dalam naskahnya langsung masuk ke hati penonton. Penonton merasa menjadi bagian dari peristiwa yang dikisahkan Sha Ine. Karena nama tempat dan nama kampung yang disebutkan dalam naskah memang sering disinggahi.   

Sebagai contoh, saat diceritakan Gampong Lampadang, tempat Tjoet Nyak Dhien dilahirkan pernah dibakar oleh Belanda, penonton langsung tahu, di mana Gampong Lampadang itu berada dan bagaimana kondisinya sekarang.   

Bukan hanya itu, namun naskah yang disampaikan dengan logat keacehan, syair-syair dalam bahasa Aceh, dan animasi di layar belakang berhasil menarik penonton ke dalam cerita sesungguhnya. Hentakan rapa’i dan syair doda idi boh gadong di boh kayee uteuen yang ditembangkan Sha Ine menusuk kalbu penonton.  

Di luar menyaksikan monolog itu, penonton juga mencoba menghadirkan Tjoet Nyak Dhien dalam diri mereka.   

Sha Ine memulai kisah dari asul usul Tjoet Nyak Dhien.  Kakek Tjoet Nyak Dhien bernama Makhdum Sati, seorang perantau dari Sumatera Barat. Pada abad ke 17, Makhdum Sati bersama rombongannya merantau ke Aceh untuk mencari penghidupan. Mereka menetap  di Woyla, Aceh Barat.   

Dalam waktu singkat rombongan Makhdum Sati hidup sejahtera. Lalu Sultan Aceh mengirim utusan untuk meminta upeti, tetapi Makhdum Sati menolak, bahkan mengirimkan besi tua kepada sultan.   

Atas perbuatannya itu, Makhdum Sati ditawan oleh pasukan kerajaan. Dia dijatuhkan hukuman mati. Namun Sultan Aceh mengampuni Makhdum dan mengangkatnya sebagai pengawal istana.   

Makhdum Sati memiliki anak bernama Teuku Nanta Muda Seutia. Dari Teuku Nanta lahirlah Tjoet Nyak Dhien. Sejak awal Teuku Nanta mempersiapkan Tjoet Nyak Dhien sebagai penerusnya. Dia melihat Tjoet Nyak Dhien mempunyai jiwa kepemimpinan meski seorang perempuan.   Pada usia 12 tahun Tjoet Nyak Dhien dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga. 

Tjoet Nyak Dhien tak bisa menolak pernikahan itu meski dirinya masih belia, bahkan belum menjadi perempuan seutuhnya. Di samping itu, Teuku Nanta juga tidak berani menolak lamaran Teuku Ibrahim, cucu Teuku Abbas ulee balang yang punya kekuasaan daerah pantai.   

Rumah tangga Tjoet Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim Lamnga berjalan harmonis. Tjoet Nyak Dhien taat kepada suami, Teuku Ibrahim mencintai istrinya sepenuh hati. Di bawah bimbingan Teuku Ibrahim, Tjoet Nyak Dhien menjadi perempuan cerdas, dia semakin mengerti persoalan yang sedang menimpa nanggroe.  

 Tahun 1873 perang meletus. Belanda menyerang Aceh. Teuku Ibrahim Lamnga membawa pasukan melawan Belanda. Dia bergerilya di rimba. Tjoet Nyak Dhien melepaskan suaminya dengan ikhlas demi nanggroe. Tjoet Nyak Dhien memberi semangat pada suaminya untuk tak mundur selangkah pun dalam mempertahankan Aceh.   

Tahun 1878, Teuku Ibrahim Lamnga gugur di medan perang. Rasa benci Tjoet Nyak Dhien pada kaphe-kaphepenjajah kian mendidih. Tjoet Nyak Dhien bertekad melanjutkan perjuangan mulia itu. Hingga pada akhirnya Tjoet Nyak Dhien dipinang oleh Teuku Umar, seorang pemuda dari Meulaboh, Aceh Barat.   

Semangat Tjoet Nyak Dhien kembali berkobar. Dia menemukan sosok Teuku Ibrahim dalam diri Umar. Tekad Umar mengusir kaphe didukung penuh oleh Tjoet Nyak Dhien. “Pernikahanku dengan Umar direstui oleh rakyat, mereka melihat kami adalah harapan dalam perjuangan ini,” kata Sha Ine.   

Umar pun mengikuti jejak Teuku Ibrahim. Dia gugur.  Tjoet Nyak Dhien tidak runtuh. Dia bangkit memimpin sendiri pasukan perang. “Kaphe-kaphe biadap itu harus dimusnahkan dari nanggroe nyoe.”   

Puluhan tahun Tjoet Nyak Dhien berperang melawan Belanda. Dia keluar masuk hutan Aceh, berpindah-pindah lokasi agar tak bisa ditangkap Belanda. Namun, keteguhan dan kebesaran cintanya pada nanggroe telah dikhianati oleh Pang Laot.  

Tjoet Nyak Dhien ditawan Belanda dan dibuang ke Sumedang. Tahun 1908, di tanah Sunda itu, Tjoet Nyak Dhien menghembus nafas terakhir. Dia dimakamkan di sana. Sejak itulah Tjoet Nyak Dhien tak pernah kembali ke Tanah Rencong.   

Panutan 

Bagi Sha Ine Febriyanti, Tjoet Nyak Dhien adalah perempuan modern kala itu. Setidaknya Tjoet Nyak Dhien adalah seorang ibu yang menyayangi anaknya, seorang istri yang taat kepada suami, dan seorang rakyat yang mencintai tanah airnya.   Tjoet Nyak Dhien paham betul apa arti kedaulatan. Dia tidak sudi melihat daerahnya dijajah dan dijarah oleh bangsa lain. “Prinsip, keteguhan, dan nilai-nilai luhur dari Tjoet Nyak Dhien harus menjadi panutan bagi perempuan Indonesia,” ujar Sha Ine    

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center