BAB 3 PERKARA DAN ALASAN ACEHNOLOGI

Ada yang mengatakan terlalu dini untuk menyebutkan istilah Ilmu Ke-Aceh-an. Sebab, Acehnologi bukanlah sebuah ilmu seperti yang ada dalam ranah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu sosial dan humaniora. Ada yang mengatakan bahwa Acehnologi tidak dipandang sebagai respon negatif, melainkan ternyata sambutan terhadap konsep ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan.
Diatas itu semua, Aceh ternyata memiliki akar ilmu pengetahuan tersendiri sudah cukup menjadi modal mengapa perlu ditulis secara khusus mengenai buku Acehnologi ini. Studi ke-Aceh-an telah memiliki akar keilmuan tersendiri, sebagaimanapun dikupas pada bab-bab berikutnya, telah muncul dalam tradisi dan alam pikir orang Aceh.
Ada juga yang mengatakan bahwa Acehnologi telah diprediksi sebelumnya oleh Nurcholish Madjid. Intinya, di Indonesia akan bangkit ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari daerah, dimana nantinya akan menopang pemikiran kebangsaan di Indonesia. Ada juga yang mengatakan bahwa Aceh itu istimewa, karena begitu istimewa, maka sesuatu yang amat berharga dari Aceh, jarang diketahui oleh orang Aceh. Sehingga, Acehnologi merupakan salah satu jawaban mengapa Aceh itu istimewa dan khusus.
Di dalam Acehnologi, salah satu upaya untuk memahami manusia adalah dengan cara membaca karya pemikir yang terdapat di beberapa tempat. Dengan hal demikian, kita akan dirujuk pada bacaan yang mengandung sejarah dan filsafah. Jadi, sejarah dan filsafah merupakan satu pelajaran bagi Acehnologi. Kemudian, Acehnologi berusaha untuk menggali sistem berpikir rakyat Aceh. Jadi dengan mempelajari tentang Aceh, mereka bukan belajar untuk mencari musuh, tetapi berusaha mengangkat pena untuk menulis kembali dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Sedangkan di bidang teknologi dan komunikasi, dijadikannya sebagai suatu proses untuk membuat masyarakat cepat bingung. Jadi, persoalan inilah Acehnologi yang paling krusial/menentukan dalam menghadapi suatu peradaban.
Filsafah dan sejarah merupakan satu cerminan bagi Acehnologi.
Dari kajian filsafat pemikiran Georg Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831), salah seorang filosof dari Jerman. Adapun dari Aceh, pemikiran Hegel agak serupa dengan Syeikh Hamzah Fansuri, salah seorang ulama yang hidup pada abad ke-16 M. Hegel lebih dikenal dalam ranah filsafat dan ilmu sosial, sedangkan Syeikh Hamzah Fansuri lebih dikenal dalam kajian tasawuf dan sastra.
Ketika Hegel dikaji, biasanya melihat kembali pemikiran Immanuel kant (1724-1804). Adapun ketika para sarjana mengkaji Syeikh Hamzah Fansuri, sering mengaitkannya dengan Ibn ‘Arabi, seorang ulama tasawuf yang cukup terkenal dengan aliran pemikiran wahdat al-wujud. Dari sisi filsafat pemikiran, Syeikh Hamzah Fansuri tidak disambut atau dijadikan fondasi pemikiran keislaman di Aceh. Syeikh Hamzah Fansuri masih berada dalam koridor bukan bagian yang cukup penting dalam era pencerahan di Aceh.
Konsep spirit yang ditawarkan oleh Hamzah adalah dapat dilihat dari cahaya, akal dan qalam. Semua bersumber dari Allah melalui divine knowledge (ilmu kewahyuan). Ilmu ini hidup, karena memvisualkan sesuatu, maka disebut sebagai cahaya (nur). Karena berisi tentang gagasan mengenai sesuatu, maka disebut sebagai intelek. Karena ilmu membentuk tentang sesuatu, maka disebut dengan qalam.
Dalam bab ini dapat disimpulkan bahwa, penulis telah mencoba menjawab mengapa Acehnologi ditetapkan sebagai suatu bidang keilmuan? Dari beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa Aceh memiliki akar sejarah kelmuan yang amat kuat, seperti halnya di kawasan belahan bumi lainnya. Dan dalam bab ini juga memberikan pemaparan awal mengenai Aceh yang memiliki pola formasis keilmuan yang berbeda akar sejarahnya dengan ilmu-ilmu yang berkembang di negeri lain.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now