Acehnologi bab 12 : PARADIGMA FRIKATIFISASI ILMU

Mungkin sebagian dari kita, kata 'Frikatifisasi' terdengar asing bagi kita sebagian orang. Maka dari itu, saya akan mereview kajian tentang "Paradigma Frikatifisasi Ilmu".

Penelusuran paradigma keilmuan Islam juga telah dilakukan pada tingkat perkembangan studi islam pada level Asia Tenggara. Singkat kata, keterlibatan dan kontribusi akademis di dalam menelurusi paradigma keilmuan yang ada di Asia Tenggara telah memberikan pemahaman bahwa studi Islam memang telah berada di garda paling depan. Paradigma ini bukan hal yang baru, tetapi ingin melihat cara pandang terhadap ilmu dan fungsinya di dalam kehidupan manusia.
Frikatifisasi berasal dari kata ‘fricative’. Dalam Macmillan English Dictionary for Advance Learners dinyatakan bahwa fricative merupakan bagian dari linguistik. Namun, inti dari kata fricative adalah membunyikan suara dengan mengeluarkan udara sebelum suatu huruf muncul, dimana mulut hampir ditutup. Jadi hembusan udara itulah yang kemudian keluar dari mulut, seperti orang hendak memadamkan lilin atau korek api.

Jadi, istilah frikatifisasi ilmu adalah berusaha untuk menghembuskan spirit ilmu ke berbagai penjuru mata angina. Degan kata lain, frikatifisasi ilmu merupakan upaya ilmu untuk bergerak sesuai dengan kekuatan sinar yang dimiliki pada suatu tempat reproduksi ilu pengetahuan, karena dia merupakan hembusan, maka gerak ilmu baru berwujud dalam kehidupan manusia, setelah mendapatkan udara dari hembusan tersebut. Atau hembusan tersebut merupakan ruh yang ditiupkan pada wadah yang ada pada makhluk.
Ilmu merupakan kekuatan yang menghidupkan kehidupan, bukan mematikan kehidupan. Ka;au diibaratkan dengan ruh atau nyawa, maha paradikma frikatifisasi ilmu adalah spirit yang dihembuskan di dalam tubuh manusia, yang kemudian menjadikan manusia itu hidup.
Orang Aceh di kampung-kampung yang masih tradisional, ketika membakar sua yang terbuat dari ranting atau daun kelapa kering, akan menghembuskan udara, supaya api yang memiliki sinar dapat dinyalakan. Falsafah sua merupakan tamsil dari paradigma frikatifisasi ilmu, dimana perlu dicari ilmu yang mampu mencerahkan kehidupan manusia. Karena paradigma ini berhubungan dengan kekuatan sebelum ada gerak atau bunyi, seperti kita menghembuskan udara.

Dalam buku Wahdatul Wujud: Membedah Dunia Kamal dijelaskan bahwa konsep pemikiran prikatif lebih banyak dilakukan dalam bentuk diam. Diam dalam konteks ini bukanlah tidak beraktifitas, melainkan berusaha untuk menjadi salah satu dalam bingkai kosmologi. Maksudnya, keterdiaman manusia adalah ketika jiwa dan hatinya sudah bersih dan mampu menerima serapan ilmu pengetahuan dari luar dirinya yaitu makro-kosmos atau alam semesta dan jagad raya. Dengan kata lain, ketika seseorang masuk pada level frikatif, dia sudah tidak lagi beraktifitas dalam gerak yang massif, melainkan diam untuk menyambngkan jiwanya dengan luar dirinya.

Sebelum ditelaah lebih jauh mengenai paradigma Frikatifisasi Ilmu, terlebih dahulu dikaji ulang dua paradigma yang ditelah dijalankan di UIN yaitu paradigma Integrasi Interkoneksi (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dan paradigma Reintegasi Ilmu (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Paradigma Integrasi Interkoneksi digagas oleh M. Amin Abdullah. Linearitas bidang ilmu, khususnya ilmu keagamaan , rupanya mengandung ririko tinggi dalam hidup bermasyarakat secara luas, khususnya diruang publik saat ini, setelah berkembangnya teknologi informasi dan jejaring sosial. Ilmu agama atau ilmu fikih yang tidak dibarengi dengan ilmu sosiologi dapat mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat, dan jabatan seseorang. Ilmu kalam/Aqidah yang tidak dibarengi dengan ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan seseorang penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama.
Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana M. Amin Abdullah hendak menghubungkan ilmu-ilmu supaya tercapai keharmonisan didalam kehidupan manusia.

Karena itu, paradigma keilmuan yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah pada prinsipnya merupakan usaha untuk mempertemukan aspek ontology dari filsafat, hermeneutik dan studi islam (dirasah). Jika digambarkan secara sistematik, terdapat empat tahap yang perlu digaris bawahi dalam rangka membaca dan menulis penelitian integrasi-interkoneksi yaitu triple hadarah, Spider Web, Spheres and models dan delapan kacamata point.
Empat tahap tersebut kemudian dijelaskan oleh pembedah pemikiran M. Amin Abdullah, yakni Waryani Fajar Riyanto. Menurutnya, “Tripple hadarah” merupakan ontologi integrasi dan interkoneksi. Menurut Waryani Fajar Riyanto, tiga dimensi perkembangan ilmu melalui triple hadarah bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman. Sementara tahapan “spider web” adalah sebagai epistemologi integrasi-interkoneksi. Tahapan ini memang sering dipresentasikan oleh M. Amin Abdullah dengan istilah “jarring laba-laba”. Sampai saat ini belum ada yang mencoba mengupasnya secara mendalam.

Selain paradigma Integrasi-Interkoneksi UIN Sunan Kalijaga, di UIN Syarif Hidayatullah juga telah dikembangkan satu paradigma keilmuan, yaitu paradigma re-integrasi ilmu-ilmu. Azyumardi Azra menjelaskan konsep tersebut dengan memandang berbagai dampak dan implikasi negatif dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, maka sudah waktunya bagi kaum muslim, khususnya lembaga lembaga islam untuk melakukan reintegrasi ilmu-ilmu. Dalam kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai satu kesatuan yang setara hirarkinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama mendapat pahala jika menuntuk dan menekuninya.

Pertautan konsep di atas kemudian terkait dengan konsep wahdatul wujud yang ternyata menjadi bahan penting dalam pembahasan paradigma reintegrasi keilmuan yang dijadikan acuan utama oleh UIN Syarif Hidayatullah. Tentu saja pemikiran ini dapat dicermati dalam pandangan dan cakupan metodologis yang dilakukan oleh UIN tersebut.
Paparan singkat di atas menyiratkan bahwa paradigma interkoneksi, integrasi dan islamisasi merupakan temuan tiga rangkai filsafat ilmu yang saling komplementer (saling mengisi satu sama lain). Namun akar dan praktiknya adalah berdasarkan sisi historis di Nusantara hanya terjadi di Aceh melalui para ulama ulama.
Tawaran keilmuan yang disajikan oleh UIN adalah merangkumi semua paradigma keilmuan yang sudah dilaksanakan oleh tiga paradigma sebelumnya.

Untuk itu, proses frikatifisasi ilmu pada ujungnya adalah melakukan proses-proses keilmuan sebagaimana disajikan di atas mengenai tahapan-tahapan proses pengilmuan dan ilmuisasi (RDEDII). Adapun langkah-langkah untuk mencari frikatifisasi ilmu dari hikmah tiga serangkai tersebut melalui model RDEDII adalah: Pertama, melakukan riset yang mendalam dari aspek meta-fisika hingga fisika dari karya-karya mereka. Konsep-konsep keilmuan yang mereka tawarkan sebenarnya telah berjasa, sebagaimana terlihat dari hasil penelusuran pada sarjana. Kedua, mendeskripsikan isi pemikiran mereka kemudian dituangkan dalam rumpun ilmu yang berorientasi pada hasil akhir bentuk manusia, peradaban, alam semesta yang dikendaki dalam visi UIN Ar-Raniry. Ketiga, melakukan eksplanasi terhadap dialog spirit peradaban yang menjadi fondasi keberhasilan bangsa-bangsa maju. Pola ini yang kerap dilakukan oleh masyarakat barat, ketika hendak memajukan peradaban mereka, melalui studi terhadap aspek metafisika dari peradaban lainnya. Keempat, membangun diskursus keilmuan yang bersifat komprehensif dan holistik untuk merancang masa depan dunia yang lebih baik. Kelima, mampu membangun tradisi keilmuan untuk menghadapi keajaiban tersembunyi dari paradigma keilmuan yang hendak menghancurkan wujud kemanusiaan, wajah peradabanm dan disharmoni di dalam alam semesta. Keenam, mampu menjadi mercusuar ilmu secara tegak berdiri dengan akar keilmuan yang kokoh. Dalam konteks ini, pengalaman pencarian ilmu Acehnologi merupakan upaya yang menerapkan paradigma frikatifisasi ilmu.

Jadi, gambaran siklus dari ilmu pengetahuan dalam paradigma frikatifisasi ilmu. Yaitu, Semua sumber keilmuan itu berasal dari Allah SWT, karena Allah ingin dikenali melalui apa yang diciptaNya. Lalu, Allah menciptakan alam, karena alam itu kekuasaan ilmu Allah yang kemudian akan membentuk suatu fenomena, yang bisa dipahami oleh Mahluknya.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now