Terhadap Aceh, Indonesia Janganlah Terlalu Tamak

SETELAH heboh di media sosial selama dua hari, Harian Serambi Indonesia yang terbit Minggu kemarin mengangkat jadi berita utama keinginan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Indonesia untuk mengambil alih pengelolaan wakaf Aceh dalam bentuk rumah-rumah wakaf Aceh (Baitul Asyi) di Mekkah.

baitul-asyi_20180311_013551.jpg

Adalah Anggito Abimanyu, Koordinator BPKH yang menyampaikan wacana itu ke media massa seusai ia menghadap Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat (9/3). Anggito saat itu ditemani Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), Alwi Shihab.

Dalam pertemuan itu, Anggito menyampaikan rencana investasi atau pengelolaan tanah wakaf Aceh yang berlokasi 400 meter dari Masjidil Haram. Ia juga mengaku sudah bertemu dengan beberapa investor Arab untuk membahas gagasan itu.

Nah, tak perlu menunggu lama, masyarakat Aceh langsung bereaksi negatif atas ide tak bermutu dan “asbun” ini. Soalnya, Anggito terkesan seperti orang yang tak mengerti hukum tentang ikrar wakaf saat menyampaikan gagasan tersebut di depan awak media atau bahkan sebelumnya kepada Wapres Jusuf Kalla.

Anggito dan pengurus BPKH bukan saja lancang punya gagasan seperti itu. Tapi malah bisa dianggap tak etis karena berniat mengambil alih pengelolaan aset Baitul Asyi yang selama ini di bawah pengawasan Kementerian Urusan Haji dan Umrah Arab Saudi.

Dia tentunya tahu bahwa wakaf Aceh itu bukanlah wakafnya Indonesia. Bahkan diwakafkan 209 tahun lalu (18 Rabiul Akhir 1224 H atau 1809 Masehi) oleh Habib Abdurrahman Al-Habsy atau Habib Bugak Asyi. Saat itu, Indonesia saja belum ada. Malah, Mekkah dan Madinah saat itu masih berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani.

Berdasarkan risalah yang ada, Habib Bugak Asyi datang kepada hakim Mahkmah Syar’iyah Mekkah, lalu di depan hakim ia nyatakan keinginannya mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat: rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh (biladil Asyi) yang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan tempat tinggal orang asal Aceh (mukimin min biladil Asyi) yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar Jawi (muslimin Asia Tenggara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari muslimin Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah, maka rumah wakaf diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.

Nah, dari ikrar wakaf itu sangatlah jelas bahwa Baitul Asyi itu didedikasikan pertama-tama dan utama untuk jamaah haji asal Aceh. Jadi, tak ada celah bagi BPKH dan pemerintah pusat untuk mengambil alih hak pengelolaannya.

Lagi pula selama ini pengelolaannya oleh nazir Aceh di Mekkah sudah cukup baik. Setiap tahun jamaah haji asal Aceh mendapat dana kompensasi Baitul Asyi itu saat di Mekkah sekitar 4-5 juta rupiah per jamaah. Jadi, biarlah dikelola dengan cara seperti sekarang ini saja, apalagi BPKH yang dipimpin Anggito Abimayu bukanlah lembaga yang sangat terkenal profesional mengelola aset harta agama.

Selain itu, sudah cukuplah pada tahun 1950 Aceh membelikan dua pesawat jenis Dakota untuk modal perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru berumur lima tahun dan masih gencar dirongrong Belanda. Kemudian, tahun 1960, pengusaha Aceh terkaya di Jakarta saat itu, Markam, menyumbang belasan kilogram emas untuk dionggokkan di puncak Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

Tahun 1970, gas alam cair di perut bumi Aceh diambil alih pemerintahan Soeharto dan ending -nya Aceh tetap miskin.

Lalu, tahun 2018, giliran harta wakaf Aceh di Mekkah pula yang hendak “dirampas” BPKH. Tuan-tuan yang di Jakarta sana, janganlah terlalu tamak terhadap Aceh. Punyalah rasa malu, sejak pertama merdeka hingga kini mengemis terus pada Aceh.

Sumber : https://www.google.co.id/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2018/03/12/terhadap-aceh-indonesia-janganlah-terlalu-tamak

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center