FONDASI METAFISIKA ACEHNOLOGI : MANUSIA DAN TUHAN (I : 5)

Pembahasan kali ini mengenai tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dimana kajian ini sudah sering dilakukan oleh para sarjana. Bukan saja kajian mengenai hubungan manusia dan Tuhan, tapi juga mengkaji tentang manusia saja dan ketuhanan saja. Pada kajian ilmu kemanusiaan kita sering mendengar dengan istilah humaniora. Sedangkan kajian mengenai ketuhanan memiliki kesinambungan didalam kajian studi teologi. Pada hakikatnya, setiap ilmu pengetahuan itu akan selalau mengarah pada keilahian. Pada pembahasan ini kita akan banyak mendalami tentang manusia dan Tuhan, khususnya dalam konteks ‘mengapa manusia perlu berpikir tentang Tuhan?’. Disini tidak menjelaskan manusia dan Tuhan dalam arti luas, dikarenakan pembahasan tersebut sangatlah memakan waktu dan tidak cukup menjeaskan secara potong-perpotong. Oleh karenya kita membatasi pembahasan ini.

Kajian mengenai manusia dan Tuhan di Aceh telah dimulai sejak zaman para ulama pada abad ke-16 M. Salah satu perdebatannya adalah bagaimana hubungan mansuai dan Allah. Dalam konteks ini, studi yang dilakukan oleh para sarjana di Aceh telah membeikan penjelasan yang amat panjang lebar keberlajutan yang sebelumnya telah dikaji oleh para ulama terdahulu. Salah satu karya mengenai hubungan manusia dan Allah telah dilakukan terhadap pemikiran Syeikh Nurdin Ar-raniry oleh Ahmad Daudy. Dalam karya tersebut, Daudy membahas pandangan Syeikh Nurdi Ar-raniry mengenai keberadaan manusia, hubungan manusia dengan Allah, sifat dan zadt Allah dan bagaimana Allah menciptakan alam semesta ini. Hal ini menunjukkan bahwa studi-studi si Aceh, kajian manusia dan Allah memiliki peran penting dan utama didalam membangun basis teologi masyarakat.

Kajian tasawuf di Aceh telah melajutkan tradisi tasawuf yang diwariskan oleh Syeikh Imam al-Ghazali dan Syeikh Ibn Arabi. Persoalan kemampuan akal di dalam memahami ciptaan Allah dan proses penciptaan alam semesta oleh-Nya juga menjadi hal tersendiri, yang harus digali secara sistematik. Karena itu, kecendrungan kajian mistik atau tarekat di Aceh adalah suatu bukti bagaimana upaya sarjana di Aceh di dalam menjelaskan konsepsi-konsepsi metafisika Islam, yang telah dihasilkan oleh para ulama terdahulu. Karena itu, Acehnologi pada dasarnya tidak dapat dipandang sebelah mata kajian fondasi metafisikanya dari kajian manusia dan Allah.

Di Aceh, karya-karya yang membahas hal-hal yang telah disebutkan diatas, dapat ditemui dalam karya Syeikh Hamzah Fansuri, terutama syai’r-sya’ir hampir semuanya menjelaskan tentang asal usul manusia, fungsi manusia, dan daya serap pemahaman manusia mengenai kerajaan Allah. Disamping itu, karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri yang membahas hal tersebut dapat kita lihat dala Asrar al-Arifin, Syarab al-Ashiqin, al-Muntahi. Karya-karya Syeikh Abd. Rauf al-Singkil, terutama Tanbih zl-Masyi adalah berusaha untuk melerai debat kebersatuan manusia dengan Allah. Hal serupa juga dimiliki oleh Syeikh Nurdi Ar-Raniry yang juga menghasilkan kitab-kitab mengenai keberadaan manusia dan Allah SWT, seperti yang terlihat dalam kitab Asrarul insan fi marifatiil Ruh wal Rahman, Ainal-Alam Qabl Khalqihi, Badu Khalqi`l-Samawat wal-Ard, dan Jawahir al-Ulum fi Kashfi al-Ma’lum. Paling tidak, khazanah-khazanah di Aceh sebenarnya sudah begitu maju, dalam tradisi filsafat Barat, persolan ini merupakan hal yang paling utama, jika kita membuka karya-karya filosof pada abad ke-16 M dan seterusnya.

Bila kita berbicara mengenai jarak antara kita dengan Tuhan, dalam arti jiwa yang dekat dengan Tuhan, maka kita harus terlebih dahulu mngenali diri kita sendiri. Ini bertujuan untuk mendalami ilmu mengenai hubungan manusia dan Tuhan. Oleh karenanya, ruh menjadi bagian sentral dalam memahami dan mengenal dirinya sendiri. Semakin manusia mneyadari akan persoalan ruh, maka semakin sering manusia merasakan kefanaan di dunia ini.
Adanya keberadaan manusia, akhirnya mengembangkan tugas yang cukup berat yaitu proses transformasi dari `abd ke khalifah. Proses tersebut dimulai dengan pengenalan diri, lalu mengenali siapa yang menciptaan diri. Setelah itu, manusia mendapatkan pegangan yang dikenal dengan istilah din. Ini menunjukkan bahwa apapun perbuataan kesehariaan yang dilakukan manusia di dunia ini, akan dimintai pertanggungjawaban, apakah itu perbuatan yang baik juga perbuataan buruk. Proses ini dimulai dengan melihat siapa pencipta alam semesta.
Syariat Islam.jpg
Intinya, fondasi Acehnologi adalah berawal daripada konteks bagaimana “mempertahankan manusia dengan Allah, yang kemudian diwujudkan di dalam semangat keilmuan yang seimbang, dengan upaya untuk melihat hubungan manusia dengan Rabb secara teologis dan filosofis. Oleh karena adanya pengalaman minat keilmuan yang besar, membuat kemantapan diri untuk berdekatan dengan Allah semakin besar.
Potensi.JPG

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Logo
Center