acut

Karena membangkang adalah jiwa seorang budak Maka jangan jadikan aku sebagai budak cintamu, kekasih Karena seonggok cinta ini begitu mulia Maka biarlah kepatuhanku yang memperlihatkan kemuliaan seutuh-utuhnya

Wahai para pendekar. Belajarlah menjadi seorang pelacur. Kau bisa mencintai para nelayan, pekebun, pedagang, orang cacat, bahkan kaki kuda dan ekor biawak yang telah menjadi bangkai sekalipun. Itu sedikit

sumber Di kala mendung tiba, Cepat kau buka kaca jendala kamarmu, kasih Sebelum hujan deras turun, bergegaslah Jangan kau biarkan jutaan rindu yang kukirimkan lenyap tersapu hujan Jangan kau biarkan seonggok

Aku punya raga, tak mudah patah ibarat reranting daun bila kau tebas dengan parang tajammu Aku punya jiwa, tak mudah tumbang ibarat sebatang pohon walau kau tebang dengan keganasan kapakmu Aku punya hati,

Peruntunganku begitu indah kali ini, syukur sekali senja di ufuk sana turut menghantar tujuanku bersama teman-teman ke Pulau Keluang. Sepanjang jalan menyebrang laut, riak bernyanyi riang. Gelombang air

Sumber Memang ada hal indah di kala aku termenung. Mengingat ingat saat kau berkata, suara rintik hujan yang berjatuhan di atap seng bisa mengisi segala sepimu. Katamu, aroma hujan yang hinggap pada lubang

Lantai singgasana tampak berserakan di penuhi puntung rokok, tisu-tisu, dan plastik kue. Banyak orang berlalu-lalang kesana-sini. Mulai dari wanita pengemis yang menggendong bayi, kakek-kakek, nenek-nenek,

pixabay Aku menggantikan serintik hujan berkisah, semua telah tertuang melalui bulir air mata setelah sekian lama tersimpan dalam raga. Lantas mengapa kau meragu? Bukankah sama seperti petani yang kau

Source Mungkin puisi-puisi yang ku tulis tak mengundang ketertarikan bagi para pembaca. Ya maklum saja lah, aku pun masih dalam tahap belajar, setiap penggalan-penggalan puisinya seperti kurang asupan

pixabay Ku pandangi sekelap bentangan hijau sawah dalam perjalanan pulang. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi mereka saling berbisik-bisik akan temannya yang tergilas rata oleh bangunan. Sedang awan

Aku mendengar siulan kabar tentang kau kemarin malam. Banyak insan beramai-ramai ingin melihat sosokmu, begitu jua aku. Ada titik temu, ada tampang-tampangmu menyambut di depan pintu, tentu saja ada temanmu

pixabay Kau tuang nanti saja cairan kopinya. Itu tak menarik bagiku. Tempurung hatiku bergumam, manis dan pahit sungguh senada saja. Mengapa bisa, katamu. Tentu aku tahu pikiranmu tampak telanjang

Bersama angin yang menyelinap masuk ke dalam mobil, aku sejuk menikmati arunika dari balik Seulawah Inong yang menghamparkan cahaya ke atas bentangan sawah. Tetes-tetes air berbutir kecil melayang-layang

Source Perih, Tirai awan kusut berjatuh menutup matahari, seketika cerah langit menjadi gelap. Hatiku dirunduk sunyi keranamu. Kau ucap segala kata yang kau mau. Rintik air hujan berlomba-lomba tertuju

/1/ Di saat matahari merangkak tertawa membawa cerita betapa dahsyat api neraka. Pepohonan mengadu-adu tak tertahankan retak pecah-pecah tangkainya. Hijau dedaunan, meminta ampun dari maut kering tanpa

photo pixabay Aku kembali kasih. Aku kembali setelah menguras habis keringat amis yang hinggap di tubuh anggunku. Melalui sungai merah yang mengalir, telah kuhantar butir-butir keringat amis itu menyapa

Detak jarum jam terus berputar membalut beribu-ribu kenangan. Senja pun mulai lenyap terhapus secara perlahan dalam remang gelap malam yang menimpa. Aku tak jua beranjak pergi dari istana penyalur inspirasi.

source Sudah berkali-kali ia menjejakkan telapak kaki pada kamar tua ayah. Kamar tua yang di penuhi dengan kertas bercorat-coret, kamar tua yang sangat di penuhi dengan berbagai macam buku-buku, membuat

Ku sambung kata demi kata untuk menulis sebuah puisi... Mengapa meluap rasa saja susah payah? Terasa bimbang membeku dalam pedih kalbu. Sungguh aku tak bisa memahami kelamnya keadaan yang semakin mencekam,

source Katamu yang dirunduk sepi "Aku hanyalah insan tolol yang mengikuti segala arah nafas manusia" Gelapnya malam ikut membalut rasa gaduh dalam hati. Lampu pijar di atas kepala menjahit