Utoh Syam; Bukan Tukang Bangunan Biasa

Badan beliau kurus, jangkung berkulit gelap. Kebiasaan bertelanjang dada saat bekerja, membuat kita dengan mudah dapat menghitung jumlah tulang rusuknya. Mata yang rabun, mengharuskan beliau mengenakan kacamata yang cukup tebal dengan frame bulat, persis seperti miliknya Panglima Polem, pahlawan asal Aceh itu. Sangking tebalnya, membuat mata beliau terlihat lebih besar saat menggunakan alat bantu penglihatan tersebut.


image
Source image


Itulah beberapa penggalan ingatanku pada utoh Syam; ahli bangunan dan pertukangan di kampungku. Aku melihat langsung utoh Syam bekerja pada saat membongkar rumoh Aceh; rumah panggung milik kakek saat aku masih ingusan. Tak banyak bicara dan bekerja dengan sangat telaten. Tak lama setelahnya, beliau tiada.

Karena kemampuan tingkat tinggi dalam bidang pertukangan dan bangunan saat itu, beliau disebut utoh. Sebuah gelar yang diberikan orang-orang karena kemampuan beliau tersebut. Tak semua tukang bangunan mendapatkan sebutan utoh. Hanya yang telah ahli dan teruji yang akan disebut utoh di awal nama mereka.


image
Source image


Beliau merancang bangunannya, menghitung jumlah material yang dibutuhkan. Memahat , mengukir dan merangkai seluruh bangunan hingga selesai. Keahlian yang mungkin kini baru diperoleh setelah menamatkan dua atau lebih jurusan di Universitas; tehnik sipil dan tehnik arsitek (plus jurusan seni ukir). Keahlian itupun baru didapat jika engkau bersungguh-sungguh mempelajarinya. Aku tak tau pasti, keahlian tersebut beliau dapatkan secara otodidak atau berguru pada utoh lain yang lebih senior. Namun yang pasti, beliau tidak mengenyam bangku kuliah untuk mendapatkan keahlian itu.

Utoh Syam tak hanya mumpuni dibidang bangunan. Beliau juga ahli dalam urusan kerajinan tangan, termasuk anyaman. Saat pulang kampung lebaran kemarin, aku mengkonfirmasi hal tersebut kepada ibuku. Ibuku langsung menunjukkan sebuah jeuee (alat penampi beras yang terbuat dari rotan yang dianyam). Menurut ibuku, jeuee tersebut adalah hasil karya utoh Syam yang dibeli saat aku baru lahir.

Jeuee tersebut telah dipakai ibuku selama 35 tahun lebih tanpa henti. Menampi setiap bulir beras yang akan ditanak keluargaku. Ayamannya tak ada yang lepas. Begitu padu walau telah dipakai menampi berton-ton beras hasil panen disawah. Hanya warnanya saja yang mulai berubah dan agak mengkilap. Seakan jeuee tersebut ingin menunjukkan seberapa keras ia telah bekerja, walau sang pembuatnya telah tiada.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
8 Comments
Ecency