This content was deleted by the author. You can see it from Blockchain History logs.

Tidak Lagi di Bawah Pohon

WhatsApp Image 2018-02-02 at 10.00.04 AM.jpeg

Di Rumoh Kupi, Langsa, Miswari, @miswarizawiyah, sudah duduk di salah satu kursi. Laptop dan gawainya selalu siap sedia. Sore itu, kami sudah membuat janji untuk ngopi. Agenda rutin yang tertunda selama tiga minggu, karena saya berada di Jakarta dan Jawa.

Di Jakarta, saya mengikuti kelas menulis narasi dari Yayasan Pantau. Sedangkan di Jawa, yaitu Yogyakarta, saya menyusuri jejak yang tertinggal. Perjalanan tiga minggu, membuat banyak cerita itu hendak saya bagi dengan Miswari.
Mukanya terlihat kuyu di hari itu. “Kepala saya lagi pusing pak, “katanya.

Lalu, saya memesan kopi. Tidak lama pesanannya juga sampai; kopi kocok. Minuman khas di Aceh. Kopi yang dicampur dengan telur kampong. Menurut hikayat, minuman itu dapat memulihkan kondisi yang lelah.

Saya kemudian menceritakan pengalaman dua minggu ikut kelas narasi. Dia menyimak dengan seksama. Sesekali menimpali.

“Sekarang bapak sudah tidak lagi di bawah pohon,” katanya.

Di bawah pohon, adalah istilah yang sering dia sampaikan, untuk mengambarkan tidak ketatnya perjalanan karir akademik seorang sarjana.

“Bapak sejarawan, tapi di bawah pohon,” katanya dengan tajam.

Dia mengatakan itu karena saya menulis banyak esai tentang sejarah politik di www.bung-alkaf.com. Akan tetapi jenjang perkuliahan saya bukanlah dididik menjadi sejarawan.

Miswari adalah pembaca esai-esai saya yang paling keras. Keras dalam pengertian literlek. Tanpa ragu memberi masukan mulai dari kalimat yang efektif, style sampai tanda baca.

Mungkin, sebagai penulis buku filsafat 600 halaman. Dan menulis untuk jurnal setiap bulan, dia merasa memiliki otoritas sebagai kritikus esai.

Namun dua minggu belajar di kelas narasi yang dibimbing oleh Janet Steele dan Andreas Harsono,menurutnya, telah membuat saya tidak lagi di bawah pohon. Walau nanti, apakah akan kembali ke bawah pohon atau semakin menjauhi pohon, tentu akan diuji oleh waktu.