I. **Pergi** (Memilih Diam)

"Aku membutuhkan kepastianmu...," nada suara yang mengancam. Kujawab dengan senyum sinis dan tawa sumbang.

"Bukankah sudah cukup jelas? Aku bukan seorang pemaaf, juga bukan pedendam. Silahkan kau baca kitab-kitab yang selama ini kau junjung. Adakah satu saja yang isinya bisa membenarkan tindakanmu?" aku menyerangnya balik. Mendengus resah, menatap beberapa bola mata yang berkaca, mengintip dari sela-sela pintu kamar.

Kubuka pintu perlahan, kupeluk mereka satu-persatu."Maafkan ayah..., " dengan menahan sesak membuncah. "Maafkan ayah... Maafkan ayah...," bisikku berulang-ulang.

Malam itu, sama seperti malam lain. Aku memeluk mereka sampai ayam jantan pertama berkokok. Tapi ini malam terakhirku...

Aku sibuk mengisi tas baju ketika tiba-tiba saja Akak masuk ke kamar. "Ayah mau kemana?", sinar matanya meredup.

Akak anak pertama kami. Dari kelahiran hingga ia menjelang gadis rupawan, sudah berapa kali -- aku tidak sanggup menghitungnya, ia menjadi saksi pertengkaran kami.

Seiring waktu, setiap kelahiran adik-adiknya hubungan kami bertambah buruk. Gadis kecilku berusaha dewasa. Ia menjauhkan saudara kecilnya, ketika kami saling bersumpah serapah.

imageilustrasi

Ia mencoba menghibur diri dengan menjelma sebagai anak kecil. Bermain masak-masakan, bermain guru dan murid atau mengendong adiknya hilir-mudik diantara kami yang sedang bersitegang.

Diluar, teman-temannya mulai mendayung sepeda penuh gempita sambil saling memamerkan rok kembang. Namun Akak lebih memilih menjaga adiknya.

Aku tersenyum, melihat wajahnya yang tersembul dibalik pintu. "Sini... Bantu Ayah...," sambil menepuk kasur di sisiku. Ia mendekat, mencium pipiku dan memperhatikan isi tasku yang hampir penuh.

"Ayah tinggal dimana?"
"Belum tahu. Akak jadi anak baik ya?" Kurengkuh kepalanya dan mengecup ubun-ubunnya.

"Akak boleh ikut?" tanyanya lirih, kepalanya menunduk menempel lenganku.

"Lalu siapa yang jaga adik-adik? Ayah belum punya rumah. Nanti Akak tidur dimana?", kedua mataku basah. Berat meninggalkan, tapi hati dan harga diriku telah begitu terluka. Jika tidak...

"Maafkan Ayah ya, kakak...," aku memeluknya erat. Adik-adiknya tiba-tiba masuk dan ikut menghambur memeluk. Sore itu, aku kembali ragu meninggalkan mereka. Tapi harus. Apakah mereka paham?

Bersambung

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now