This content was deleted by the author. You can see it from Blockchain History logs.

Landasan Estetika Berkesenian dalam Balutan Kenangan dengan Wisran Hadi

Alkisah:

"Hidup telah mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia.."
(Rohmantik)

IMG20170419162819.jpg

Demikianlah, waktu bergulir dan tanda-tanda pun menyematkan telunjuknya bagi perjalanan kehidupan masing-masing diri. Ada yang cepat dan arif memaknainya dan ada pula yang lambat dan terlupa di kemudiannya. Semoga semua itu jadi untaian makna bahasa yang tak berkira bagi manusia. Dan saya adalah salah satu saja dari noktah kecil ‘Bumi Teater’ yang terus dan selalu berusaha memaknai gerak amanahnya.

Perjalanan Sumatera-Jawa-Bali yang saya lakukan ketika meninggalkan Sumatera Barat atau Ranah Minang waktu itu adalah sebuah langkah hijrah bagi diri dengan modal kreativitas kesenian yang dimiliki. Keputusan ini saya ambil selepas berkutat dan bergumul dengan kegiatan beragam hal:

Kuliah; belajar memaknai nilai-nilai kehidupan melalui ilmu, Seni, Tradisi dan Budaya Minangkabau yang tak lepas dengan (alm) Wisran Hadi; menamatkan kuliah dengan menulis skripsi tentang puisi-puisi Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib lewat Tinjauan Semiotik; mengajar di INS Kayutanam, dan semua itu tak lepas dari dialog batin dan ikut bekerja dengan beliau.

Banyak hal yang tak terduga memang dalam hidup ini. Semua lumat dipagut kenangan. Wisran Hadi adalah magnit yang luar biasa. Saya lekat dan terpikat. Padahal, sebelumnya, saya telah memilih untuk hidup di Jakarta. Waktu itu sudah ikut test di AN Tv, anjuran Erdi Taufik, kakak tingkat di Fakultas Sastra Unand. Hanya tinggal satu testing lagi. Ketika mau pamitan ke Pak Wis, beliau menyarankan agar saya ikut membantu sebuah sekolah untuk menjadi guru INS di Kayutanam.

Akhirnya saya menggagalkan utuk hidup di Jakarta dan siap menerima tawaran beliau. Tambahan lagi (alm) AA Navis juga begitu, beliau malah menegaskan kepada saya: Untuk apa ke Jakarta. Saya cuma di sini saja, tapi dunia yang kenal saya. Nah. Jadinya saya pun melanjutkan ikatan batin sebagai murid dan guru lagi di Kayutanam. Saya mendapatkan dua guru sesudah itu. Keduanya sama-sama tegas, keras, disiplin, tekun dan bertanggung-jawab.
Aleh Bakua dan Kenangan Sesudahhnya:

”Ketika jarak mulai membentang, semuanya segala terasa:
kekariban kian berlepasan. Kehilangan demi kehilangan
pun menggaung di rongga dada .”

(Rohmantik)

IMG20170516091743.jpg

Bagi saya, Wisran Hadi adalah buku kehidupan yang terbuka, kitab segala kata. Halaman per halamannya penuh warna, begitu rapi dan tertata. Judul, isi, dan kerangkanya jelas dan tegas. Kalimat-kalimatnya singkat dan padat: tajam, segar, dan terkadang satir. Orang cerdas memang selalu ketahuan dari cara dan sikapnya memilih kata untuk meluahkan kalimat yang ingin disasarnya.

Sekitar sepuluh tahun lebih kehidupan saya larut bersama Wisran Hadi, sedikit banyaknya ada yang telah seakan dan begitu saja berasa menjadi milik. Ya. Milik yang bukan cuma kata-kata, tapi sublim dalam laku keseharian. Dan yang selalu terkenang adalah marah positifnya. Pernah, waktu itu beliau mencecar saya dengan kata-kata yang menyentak. “Seniman itu bukan tukang!”

Begitu panjang kalimatnya sesudah itu. Dan saya sesungguhnya adalah orang yang juga tidak bisa menerima marah begitu saja. Satu-satu, saya pun membalas dengan ucapan. Di sinilah kehebatan Wisran Hadi, beliau cepat membaca arah. Satu-satu pun kalimatnya mulai menyasar kreativitas:

“Sebagai seniman mesti paham ‘aleh bakua’. Kalau karya asal berkarya untuk apa? Apa pula gunanya bagi orang lain?”

Barulah saya paham maksud dan tujuan marahnya. Dan baru pula saya sadari dari mana sebab dan asal muasal kenapa beliau begitu keras membahasakannya. Ternyata seniman itu juga kritikus sosial dan sekaligus kritikus pertunjukan bagi pertunjukan orang lain. Lama saya tercenung untuk melumat saripatinya. Setelah saya berkiprah di Jakarta barulah saya tahu dan kemudian mampu menghadirkan konsep tersendiri bagi pertunjukaan puisi yang saya lakukan.

Sisi lain yang juga selalu menjadi buah kenangan bagi saya dari beliau, antara lain adalah: Wisran begitu cermat membaca peristiwa. Jarang sekali penilaian dan prediksi beliau yang tidak tepat, apalagi meleset. Begitu pula dalam membaca sikap dan karakter orang. Kenyataan ini sering saya buktikan dalam waktu dan kesempatan yang lumayan lama dan banyak bersamanya. Mungkin karena Wisran juga orang rupa, jadinya sigap: semua garis atas sikpanya jelas dan tegas.

Saya termasuk orang yang beruntung dalam memilih hidup berkesenian. Tentu saja karena saya memiliki rambu-rambu kreativitas yang telah terasah lewat didikan Wisran Hadi. Terutama perihal etika dalam berkebudayaan. Kalau tidak, bisa saja saya bablas dan hanyut di arus hidup kota besar yang penuh godaan.

Beruntungnya lagi, pada tahun 2010, ketika produksi film layar lebar Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang syutingnya di Sumatera Barat: dengan diboncengi Vespa oleh Penyair Esha Tegar Putra, saya pun bisa kembali bertemu dan berbincang yang berasa pulang di kediaman beliau, Jalan Gelugur, Lapai. Ternyata itu adalah pertemuan yang untuk terakhir kalinya.

Jakarta, 15 September 2018