SARJANA MENGANGGUR | bahasa |

| Oleh @ayijufridar |

GELAR kesarjanaan meskipun diperoleh dari negeri maju seperti Jerman, ternyata tidak menjamin seseorang bisa dengan mudah memeroleh pekerjaan. Sukses di dunia pendidikan belum tentu diikuti dengan sukses di dunia kerja. Hal itu sudah lama diyakini orang sehingga banyak lulusan terbaik di perguruan tinggi justru paling telat mendapat pekerjaan.

Wisudahlah.jpg

Sebaliknya, dalam beberapa kasus mahasiswa yang berkemampuan akademik pas-pasan, atau paling telat menyelesaikan kuliah karena sibuk berorganisasi, justru lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Kecerdasan intelektual diyakini bukan lagi pendukung utama untuk sukses di karir karena juga dibutuhkan kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual. Kombinasi ketiga kecerdasan itu dengan derajat berbeda, dibutuhkan dalam persaingan kerja yang semakin sulit.

Ini bukan hanya persoalan pendidikan kita yang antirealitas; apa yang diperoleh di kampus tidak siap diimplementasikan di dunia kerja. Sebab, jangankan lulusan perguruan tinggi lokal yang dianggap masih berkualitas rendah, lulusan universitas di Jerman yang lebih baik pun, masih ngambek di DPR Aceh karena tidak mendapatkan pekerjaan. Namun, lebih jauh juga menyangkut mentalitas sarjana seperti disampaikan Teuku Kemal Fasya (Serambi, 04/07/2012). Pemerintah Aceh sudah menyediakan beasiswa sampai ke luar negeri, setelah menjadi sarjana malah dimintai “pertanggungjawaban” untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka.

Orientasi PNS

Jumlah sarjana menganggur di Indonesia termasuk Aceh, setiap tahun cenderung meningkat. Kementerian UKM dan Koperasi, pernah merilis data mengenai 493 ribu sarjana atau 6,3 persen yang belum mendapatkan pekerjaan alias menganggur. Angka 6,3 persen masih lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat, tetapi angka ini bukanlah sebuah kebanggaan. Data sarjana menganggur di atas masih bisa dikritisi lagi karena sumber-sumber lain menyebutkan sudah mencapai 900 ribu orang di seluruh Indonesia.

Terlepas dari pola pendidikan kita yang memang tidak menyediakan tenaga kerja siap pakai, mentalitas sarjana juga menjadi permasalahan tersendiri. Para sarjana masih berpikir PNS oriented, hanya berupaya mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Ada anggapan, pilihan paling aman dalam pekerjaan adalah dengan menjadi pegawai negeri sipil. Anggapan ini juga mengakar kuat di tengah masyarakat kita, sehingga tak heran bila jumlah pelamar PNS membludak puluhan kali lipat dari formasi yang ada. Bahkan, pilihan menjadi PNS tidak saja diminati oleh sarjana yang belum memiliki pekerjaan, sarjana yang sudah memiliki pekerjaan pun masih melamar menjadi PNS. Seorang anak pengusaha di Kota Lhokseumawe, kabarnya sampai membayar puluhan juta agar lolos menjadi PNS, dan setelah bekerja sebagai PNS ia lebih sibuk mengurus proyek orang tuanya dibandingkan bekerja sebagai abdi negara. Lihat saja, orang yang sudah berada dalam zona nyaman secara ekonomi pun, masih berminat menjadi PNS.

Ketika berkesempatan menjadi PNS pada 1997 silam tetapi saat bersamaan juga lulus sebagai jurnalis, keluarga dan kawan dekat menyesalkan pilihan saya menjadi wartawan. Menurut mereka, bekerja sebagai PNS lebih menjanjikan dibandingkan dengan menjadi wartawan. Profesi sebagai wartawan dianggap bisa disambi dengan menjadi PNS. Padahal, semua profesi menuntut totalitas agar bisa berhasil.

Dalam daftar 10 profesi paling menjanjikan, tidak terdapat pekerjaan sebagai PNS atau public servant. Profesi sebagai akuntan publik, insinyur teknik, olahragawan, dokter bedah, bahkan perawat, dinilai lebih menjanjikan. Bukan saja memberi penghasilan lebih banyak, tetapi juga suasana kerja yang lebih menyenangkan. Yang terakhir ini belum menjadi orientasi sarjana kita yang masih berkutat pada tahap mencari kerja, bukan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat.

Sudah lama para sarjana diajak untuk mengubah pola pikir dari mencari pekerjaan menjadi menciptakan lapangan pekerjaan. Gagasan Kadin Aceh untuk meretas sejuta saudagar, seharusnya bukan menjadi kampanye belaka. Lebih jauh, program itu harus bersinergi dengan lembaga pendidikan. Beberapa perguruan tinggi di Yogya dan Jakarta, misalnya, sudah lama memasukkan mata kuliah wajib mengenai kewirausahaan atau entrepreneurship, termasuk untuk program studi yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan bisnis, seperti Sastra.

Hal ini bahkan belum menjadi wacana di kalangan perguruan tinggi negeri di Aceh. Bahkan Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang memiliki jurusan bisnis, mahasiswanya malah sibuk mempermasalahkan akreditasi yang katanya belum ada sehingga mereka tidak bisa mencari kerja selepas kuliah nanti. Meski kekhawatiran itu sangat beralasan, tetapi motif tidak mendapatkan pekerjaan menunjukkan orientasi mereka ketika menjadi sarjana nanti. Seharusnya, mereka lebih mengkhawatirkan kualitas perkuliahan, dosen jarang masuk, atau fasilitas kuliah yang belum memadai. Soalnya pekerjaan, keberadaan mereka di sana justru untuk belajar membuka lapangan kerja dan bukan mencari kerja.

Terbatasnya lapangan kerja di sektor formal, harus membuat perguruan tinggi di Aceh lebih kreatif dalam menyiapkan sarjana yang siap membuka lapangan kerja. Jiwa kewirausahaaan bukan hanya dimiliki mahasiswa bisnis, tetapi juga semua mahasiswa. Ciputra, pengusaha properti, bahkan mengajak para seniman mendalami artpreneurship agar bisa mengemas produk seni menjadi lebih menjual, menjamin kesejahteraan meski seniman berkarya bukan semata untuk kepentingan bisnis.

Perencanaan karier

Proses pengembangan karier sebagian kita, kalau ditelusuri lebih jauh, bukan lahir dari sebuah perencanaan panjang. Orang tua kita mengabaikan bakat yang kita miliki, lingkungan tidak mendukung bakat-bakat anak belia. Akhirnya, profesi bukanlah pilihan secara sadar tetapi peruntungan nasib, sebagaimana profesi yang jatuh dari langit tanpa memerhatikan bakat dan kesenangan kerja sehingga lebih bisa dinikmati.

Selain pola pikir dan kebijakan perguruan tinggi, permasalahan lain dalam mengatasi pengangguran intelektual adalah lemahnya daya saing sarjana kita. Tidak ada keterampilan menjual apapun yang dimiliki sarjana sehingga tidak ada nilai tambah yang membuat mereka diperebutkan perusahaan. Kemampuan berbahasa asing dan kecakapan berbahasa, menguasai teknologi informatika, adalah beberapa di antaranya yang menjadi prasyarat dalam mendapatkan pekerjaan. Kalau hanya mengandalkan selembar ijazah, maka para pesaing mereka juga memilikinya. Dalam kondisi seperti ini akhirnya harus mengandalkan koneksi dan menggelontorkan uang untuk mendapatkan pekerjaan.***


Badge_@ayi.png

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
51 Comments
Ecency