This content was deleted by the author. You can see it from Blockchain History logs.

Anak-anak yang Harus Berusaha Lebih Keras demi Haknya

Seandainya bisa mereka menggugat takdir, bisa jadi mereka akan berkata, "Sungguh, kami tidak pernah meminta dilahirkan."

Tapi demikianlah, seperti semua orang tua tidak diberi hak untuk memilih anak-anak yang bagaimana yang menjadi anak mereka, anak-anak juga tidak bisa memilih dari orang tua seperti apa mereka ingin dilahirkan, diasuh, dan kelak akan berbakti. Manusia hanya menjalankan peran yang sudah digariskan Allah.

Soal jalan hidup, sejatinya bisa diusahakan menjadi lebih baik. Bukankah Allah memberi peluang bagi manusia untuk merubah takdir menjadi lebih baik dengan do'a dan usaha? Mari kita baca H.R. Tirmidzi nomor 2065, yang artinya : bersabda Rasulullah SAW : "Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan) Allah ta'ala selain do'a. Dan tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik."

Mari kita baca pula Al-Qur'an, dalam surah Az-Zumar : 53-54, dan surah Al-Mu'min :60. Baca juga terjemahan dan tafsirnya.

Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan bahwa manusia memang suka melampaui batas. Sekalipun sudah ditetapkan aturan-aturan yang mengikat, ada saja manusia yang memilih jalan belakang, memutar, merasa itu lebih pintas, sekalipun hasil akhirnya adalah luka yang berdarah-darah. Luka itu tidak dirasakan sendiri, melainkan diwariskan pula pada keturunannya yang sama sekali tidak mengerti jejak salah dalam asal usul mereka.

P_20170525_154415_DF.jpg

Maafkan jika pembukaan tulisan ini begitu panjang. Beginilah cara saya mengurai perasaan sedih dan kecewa pada ulah segelintir manusia.

Tersebutlah ada kasus sebuah keluarga yang saya ikuti. Keluarga tersebut hendak mengajukan penetapan ahli waris dari seorang laki-laki yang sudah setengah tahun lalu meninggal dunia. Penetapan ahli waris dari pengadilan itu menjadi syarat wajib bagi mereka untuk mendapat santunan dan dana asuransi dari perusahaan tempat si laki-laki tersebut bekerja. Permohonan ahli waris itu diajukan oleh ibu si laki-laki bersama empat cucunya, anak si laki-laki tersebut. Sampailah mereka ke ruang sidang. Hakim mulai mengajukan pertanyaan. Sampai ke pokok masalah, hakim bertanya lebih dalam.

"Anak-anak ini masih ada ibu?" Tanya salah seorang hakim.

"Masih, tapi sudah lari." Jawab nenek mereka, ibu si laki-laki yang sudah almarhum.

"Kenapa lari?" Selidik hakim lagi.

"Sudah cerai dari ayah orang ini. Lari dia entah kemana."

"Oh, begitu. Ada bukti perceraian mereka? Akta cerainya?"

"Ndak ada, Bu Hakim. Kawinnya pun di bawah tangan, cerainya juga begitu. Habis cerai, lari terus dia. Mana tau lagi kami ke mana." Jawab si nenek lagi.

Sampai di sini, saya mulai merasa iba pada anak-anak almarhum itu. Bisa jadi, pernyataan neneknya tadi merupakan kali pertama mereka mendengar fakta menyedihkan tentang pernikahan dan perceraian orang tuanya.

"Lalu bagaimana bisa anak-anak ini kita tetapkan sebagai ahli waris sedangkan bukti dasar pernikahan orang tua mereka tidak ada. Ini akan menjadi masalah. Mungkin bisa ditelusuri dulu keberadaan ibu kandung mereka? Biar sekalian kita tetapkan nikahnya dengan almarhum, baru kita tetapkan ahli waris." Demikian hakim menjelaskan.

"Ndak bisa lagi Bu Hakim. Ndak tau kemana. Sudahlah Bu Hakim, toh mereka sudah cerai. Anak-anak ini juga tinggal dengan saya. Saya yang mengurus mereka. Ngapain lagi diungkit-ungkit ke ibunya." Si nenek berkeras.

"Masalahnya Ibu, bukti pernikahan dan bukti perceraian mereka tidak ada. Jadi tidak ada dasar menetapkan anak-anak ini sebagai keturunan dan ahli waris mereka. Kalau Ibu sudah benar berhak atas warisan dari anak kandung Ibu." Hakim menjelaskan lagi.

Sungguh, semakin ngotot si nenek memaksakan kehendak, semakin dalam dan jauh penjelasan hakim, semakin sedih saya melihat kebengongan empat orang anak itu. Terlalu banyak fakta kerumitan hubungan orang tua mereka dan urusan menentukan kejelasan status mereka yang harus mereka ketahui dalam satu hari!

Ujung-ujungnya, perkara permohonan itu dicabut, untuk diajukan kembali oleh anak-anak tersebut -dua di antara mereka sudah cukup umur- dalam format permohonan berbeda dan berlapis. Yang pertama, permohonan pengesahan pernikahan orang tua mereka. Permohonan ini harus diajukan dengan menempatkan ibu kandung mereka sebagai Termohon dengan konsekuensi waktu tunggu jadwal sidang yang lebih dari empat bulan, sebab panggilan sidang untuk ibu harus dilaksanakan melalui prosedur khusus, yaitu disiarkan di media masa, karena alamatnya sudah tidak jelas. Anak-anak ini harus berusaha keras mengumpulkan bukti-bukti pernikahan orang tuanya, sebab yang laki-laki sudah meninggal dan yang perempuan tidak diketahui keberadaannya. Data-data itu setidaknya mencakup syarat dan rukun pernikahan secara Islam, seperti nama lengkap dengan bin dan bintinya, tanggal nikah setidaknya tahun nikah, wali nikah, saksi-saksi saat pernikahan terjadi, dan maharnya berupa apa dan berapa.

Saat persidangan pun, anak-anak ini harus menghadirkan saksi lagi, yang dapat menyatakan di bawah sumpah, bahwa pernikahan kedua orang tuanya benar sah secara agama tanpa ada hal yang dilanggar.

Selesai mengurus pengesahan nikah orang tua mereka, barulah mereka bersama neneknya bisa kembali mengajukan permohonan penetapan ahli waris.

Bukankah luar biasa usaha yang harus dilakukan anak-anak ini demi memperoleh kejelasan status dan haknya? Usaha ini adalah upaya meluruskan kesalahan masa lalu orang tua mereka. Beban kesalahan masa lalu itu ikut diwariskan kepada mereka. Merekalah yang harus menanggungnya sekarang. Yang paling berat, tentu saja beban mental yang berlapis-lapis itu. Beban mental akibat fakta pernikahan orang tua mereka yang baru terungkap, beban mental meninggalnya sang ayah, beban mental ditinggal lari sang ibu, lalu beban mental tambahan ke sana ke mari mengurusi segala sesuatu berkaitan dengan pengesahan orang tuanya demi mendapatkan penetapan ahli waris.

Duhai anak-anak yang diharuskan takdir menjadi kuat, semoga jiwa-jiwa kalian semakin kokoh ditempa oleh masalah ini. Demikian pula hendaknya dengan ikatan keluarga dan kasih sayang di antara kalian. Jangan ada saling menyiakan. Bersabarlah dengan shalat, usaha dan do'a. Allah akan senantiasa membersamai kalian.

Duhai manusia dewasa, semoga kita mampu bercermin dengan kasus ini. Jangan sampai ego kita mewariskan masalah-masalah luar biasa bagi keturunan-keturunan kita.