This content was deleted by the author. You can see it from Blockchain History logs.

Perkenalan Diri Saya dalam Sebuah Halaman yang Robek

DSC03571.JPG

Di Sebuah Fotokopi

sebuah buku puisi
dari sebuah perpustakaan yang ditinggalkan
diam-diam kusalin; persis

2012

Saya adalah pria yang kurus. Mulai tua dan beruban. Beberapa hal yang terjadi pada diri saya sepenuhnya tidak saya kehendaki. Namun, saya sangat menyukai kopi. Sehari, kadang saya menghabiskan tiga gelas kopi. Untuk tiga gelas kopi, saya tidak banyak bekerja. Justru seringkali melamun dan heran, betapa hidup saya teramat lambat dan datar.
Saya tinggal dengan diri saya sendiri, di sebuah rumah yang menghadap ke empang. Di sekitarnya menjulang batang-batang kelapa yang berbuah banyak. Sesekali bau air mampat dari empang tersebut menguar ke dalam rumah. Seringkali tetangga membuang tinja ke dalamnya. Mendengar suaranya, terbayang bagaimana ledakan bom atom ketika dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki sekitar 730 tahun silam. Semacam itulah perasaan saya.

Saya berusia sekitar 370 tahun terhitung sejak saya menyobek kalender terakhir di kamar saya sekitar tiga tahun yang lalu. Hal tersebut cukup meresahkan, sebab bumbu-bumbu dapur telah mengering dan berkerak karena tidak ada lagi yang bisa dimasak sejak orang-orang menemukan resep dalam bentuk sachet yang instan dari masa depan. Dunia cepat berubah, seperti angin yang bertiup dan tiba-tiba pengap. Ketika saya terbangun dan masih saja kurus, saya sadar bahwa saya ditakdirkan menjadi tua dalam keterbatasan saya.

Keseharian saya tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Oleh karena itu tidak banyak yang bisa saya ingat. Akan tetapi, bagian-bagian yang mungkin masih bisa saya uraikan, akan saya kisahkan dengan susah payah.Hal pertama yang saya ingat dan membuat saya gugup adalah uban. Hal tersebut baru saya sadari sekitar 85 tahun yang silam. Ketika saya pergi ke tukang cukur rambut, ada tujuh helai rambut saya berwarna putih. Tukang cukur tersenyum dan berkata, “Wah, udah punya uban. Doanya terkabul”. Sepulang dari tempat cukur, saya mengambil kaca dan memperhatikan dengan saksama rambut di kepala. Ternyata ada beberapa uban yang mencuat, langsung saja dengan susah payah saya cabuti. Saya selalu meyakinkan diri, bahwa saya masih kuat untuk hidup. Bahkan beratus tahun lagi. Demikianlah yang terjadi pada masa itu, saya meluangkan waktu setiap hari mencabut uban. Saya bayangkan aktivitas ini seperti bagian quality control dalam menyortir produk. Tentu saja apa yang saya lakukan semata-mata untuk mempertahankan kualitas hidup saya secara fisik.

Saat ini, uban di kepala saya ada sekitar 3.157 helai. Saya hanya melihatnya dengan terpana. Sudah begitu lama perjalanan hitam menjadi putih hingga hari ini. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali setiap pagi dan sore mengolesi minyak rambut berbahan urang-aring, minyak kemiri, dan sedikit minyak kelapa. Rambut saya terlihat lebih rapi, meski tidak mengurangi perkembangbiakan uban. Selebihnya saya hanya mengeramasinya seminggu sekali.

Oh ya, saya perlu katakan bahwa saya suka memancing. Kegemaran ini saya peroleh dari sebuah televisi swasta dan hal ini dikarenakan saya tinggal bersebelahan dengan empang. Memancing merupakan kegiatan yang memacu adrenalin. Perasaan was-was dan berdebar-debar menunggu ikan adalah peristiwa yang cukup penting. Hal tersebut seperti mengarahkan saya ke ruang sublim. Ruang perpindahan antara harapan dan realitas.

Saya sering berpikir, apakah ikan-ikan di dalam empang juga merasakan hal yang sama? Mereka yang lapar dan tanpa malu-malu menyambar cacing dengan lahapnya sebelum tersadar bahwa mata kail sudah menancap di tenggorokan. Mungkin dengan demikian, para pemancing seperti saya ini memperoleh kegembiraan yang tidak terperikan. Inilah ruang sublim itu. Meski suka memancing, saya tidak pernah memakan ikan hasil pancingan sendiri. Ada perasaan berkecamuk yang aneh. Seolah tidak berselera, eneg, dan kenyang berkepanjangan. Biasanya, ikan hasil pancingan akan jadi lauk kucing. Saya memancing untuk menafkahi kucing, semacam itu.

Saya rasa perkenalan pendek ini bukan dimaksudkan untuk menjelaskan siapa diri saya, akan tetapi lebih sebagai apa diri saya ini. Perihal puisi yang saya lampirkan sebagai pembuka tulisan di atas, tentu saja bagian dari upaya memahami diri saya sendiri. Saya terinspirasi menjadi mesin fotokopi yang mengenskripsi berbagai data tanpa perlu memahaminya. Hanya cukup menyalinnya; persis.