Mati Bakat


Sudah 2 kali aku menemukan ungkapan yang paling sadis saat menggambarkan pribadi pemuda. Ungkapan pertama berasal dari Pak Majidun, mantan Kepala Kampung Arul Item, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Saat itu ia mengungkapkan kegelisahan soal seorang anak muda yang tinggal sendiri di seberang jalan berposisi diagonal dengan rumahnya. Pemuda itu bernama Udin. Tinggal sendiri mengurus kebun, bekerja ke kebun tanpa jadwal dan kerap menghabiskan hari dengan mengisap ganja.

“Si Udin itu udah berulangkali kunasehati, tapi masih begitu juga kerjanya. Memang udah mati bakat dia itu,” ujar Pak Majidun suatu sore ketika kami ngobrol di teras rumahnya. Mendengar frasa “mati bakat” tegukan kopi yang baru tiba di tenggorokanku terdongkrak oleh tawa. Tersedaklah aku. Tertawa dengan airmata memburai.

Perih di dadaku tak lagi kurasa karena rasa geli yang membuncah lebih penting untuk kupilih. “Kenapa kamu?” tanyanya.

“Ngeri kali istilah Bapak untuk si Udin,” ujarku.

“Kan betul kubilang. Kita nasehati nggak mau dengar. Kalau aku dengki, tinggal kupanggil polisi, pasti ada ganja di rumahnya itu,” paparnya kesal. Pak Majidun tak melaporkan Udin ke polisi karena menganggap Udin nakal, bukan jahat. Kalaupun ada kejahatan yang dilakukannya, ia tak mengganggu dan merugikan orang lain.

Aktivitas Udin dan ganjanya tak pernah berdampak buruk terhadap prilakunya pada orang di sekitar. Kepada yang muda ia penyayang, kepada yang tua ia hormat. Selain itu, menurut Pak Majidun, kenakalan Udin adalah hal yang lazim di kalangan anak muda. “Kalau nggak bisa berubah sesudah kunasehati 1000 kali, mungkin bakal berubah setelah kunasehati 1001 kali,” ujarnya bijak.

Aku kagum dengan kebijaksanaan Pak Majidun yang saat itu masih menjabat sebagai kepala kampung. Sebagai pemimpin tertinggi, ia begitu memahami demografi, bahkan fi’il tiap orang. Ia paham siapa musuhnya yang hidup untuk mengerjakan apa saja untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup, sok berpolitik, benar-benar berpolitik, menjadi lawan politik yang fair, sampai lawan politik yang menggunakan jalur mistis untuk menyerangnya.

Demikian juga pantauannya yang menyeluruh terhadap pengguna ganja dan minuman keras di kampungnya. Tapi baru sore ini aku kaget dengan istilah mati bakat yang digunakannya untuk menggambarkan kondisi si Udin. Meski bagiku terkesan lucu dan sadis, tapi ungkapan itu terasa nakal dan kreatif. Saraf-Saraf jahilku langsung terkobel untuk mengkhayalkan wajah dan aktivitas si Udin dengan istilah mati bakat.

Lebih dari itu, aku menghormati kebijaksanaan Pak Majidun yang mampu memilah antara kenakalan anak muda dengan kejahatan. Juga dengan kepercayaannya tentang akan berubahnya si Udin suatu saat nanti, diiringi dengan upayanya yang terus-menerus menasehati si Udin dengan caranya yang sungguh ke-ayah-an.

Sesungguhnya Udin bukanlah contoh buruk bagi pemuda, seiring pandanganku yang tak antipati pada ganja. Di umur menjelang 20-an, ia sudah memiliki kebun kopi sendiri, tinggal di rumah sendiri, tidak bergantung lagi pada orangtuanya. Kreta yang dimilikinya adalah hasil kerjanya menggarap kebun kopi, ia juga membeli gitar untuk melengkapi kemudaannya. Cuma, ia memang tak tertib merawat kebunnya. Meski dengan segala kemudaan pula, ia menjalani hidup tanpa bimbingan, selain perhatian dari Pak Majidun.

Bertahun kemudian, saat aku kembali berkunjung ke Arul Item, kutemukan kepercayaan Pak Majidun bahwa tiap orang bisa saja berubah terbukti atas diri Udin. Ia telah menikah dan memiliki seorang putri meski masih kutemukan jejak ganja di kelopak matanya.

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
11 Comments
Ecency