Kenapa Saya Memilih Postingan dalam Bahasa Indonesia?


image

HAMPIR sebulan saya memposting tulisan saya pada kanal Steemit.com. Sebenarnya, @muammar memperkenalkan laman itu sejak dua bulan lalu. Namun, karena saya sibuk pada beberapa hal belum sempat membuat akun. Bahkan suatu waktu @muammar menawarkan diri membuatkan akun. Saya pun menyambut baik tawaran itu.

Apakah setelah mendaftar saya langsung aktif ngeposting tulisan saya? Jawabannya tidak. Ajakan terakhir datang dari @ayijufridar. Saat itu lebaran idulfitri. Di hari pertama idulfitri @ayijufridar menelpon. Kebetulan saya mudik ke rumah mertua di Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Setelah ucapan selamat hari raya, Ayi membombardir ajakan untuk mengaktifkan akun yang sebelumnya telah terdaftar.

Sepekan kemudian, saya baru menginfirmasi email untuk akun itu. Seiring waktu saya suka memotret perkembangan kedua putra saya. Mereka pun kemudian menjadi sebagian objek tulisan saya. Saya menyebutkan ini curhat digital. Curhat seorang ayah tentang perkembangan kedua putranya.

Sebagian postingan saya berisi soal wisata, travel, makanan dan aneka tempat asik yang pernah saya kunjungi. Seluruh tempat itu dijamin berbiaya irit. Maklum, saya tak punya fondasi pendanaan yang kuat mengunjungi tempat yang super mewah bak selebritas tanah air.

Terakhir, saya sempat beberapa kali memposting dalam bahasa Inggris. Rasanya hati saya tak nyaman. Postingan dalam english itu menggunakan mesin penerjemah milik perusahaan raksasa google. Tentu akan ada frase kalimat yang acak kadut bin karut marut.

Saya sempat menyampaikan ketidaknyamanan hati saya ini pada @levycore. Pria berambut lurus dengan kumis klimis ini hanya senyum-senyum saja. Dia menyatakan tak masalah juga menasbihkan diri memposting dalam bahasa Indonesia.

Sesungguhnya saya akui, saya tak bisa berbahasa Inggris yang baik dan benar. Ada rasa mengganjal di hati ketika memaksakan diri berbahasa Inggris. Apalagi dalam konteks tulisan.

Lalu, pilihan berikutnya adalah bahasa ibu saya-bahasa Aceh-ini juga memiliki kendala tersendiri. Bahasa Aceh sarat dengan tanda baca, yang sangat sulit saya temukan pada tuts Apple saya. Daripada menulis dalam bahasa Aceh namun tidak benar pula, maka saya mikir, lebih baik menulis dalam bahasa Indonesia.

Apakah sudah benar kaidah penggunaan bahasa saya dalam tulisan itu? Jawaban saya belum. Banyak hal yang membuat itu salah. Typo salah satunya. Niat hati menulis sesuatu yang benar,karena kurang teliti jadi kekurangan huruf. Ini manusiawi. Tapi saran saya tetaplah para stemians ini lebih teliti. Setidaknya lebih teliti dibanding saya.

Persoalan lainnya kenapa saya menulis dalam bahasa Indonesia di forum steemit ini, adalah soal literasi. Bagaimana kita ingin menyampaikan pesan dengan baik pada pembaca.

Saya tentu berharap pesan saya sampai dengan baik ke semua pembaca. Pada akhirnya pesan itu bisa dimaknai sebagai informasi, syukur jika dimaknai sebagai tambahan pengetahuan. Dan, menjadi kacau balau, jika dimaknai dalam tafsir-menggurui-ini musibah.

Saya tak pernah bermaksud menggurui semua pembaca. Lebih baik, jika menganggap tulisan saya bermanfaat silakan dinikmati. Tak ada niatan menggurui. Walah, bagaimana mau menggurui, saya sendiri juga masih belajar.

Akan semakin kacau lagi, kalau tafsir-menggurui-itu diterjemahkan dalam hujatan-hujatan. Bagi saya, kalimat dan frase yang digunakan adalah cermin karakter manusia dan peradabannya. Jika frasenya santun, menjadi keniscayaan manusianya santun. Jika frase yang dipilih kasar bin banal, anggaplah kita sedang berhadapan dengan setengah manusia.

Kembali ke soal literasi? Minat baca kita jauh tertinggal dari negara mana pun di dunia ini. Industri buku tak kunjung membaik. Apalagi industri buku sastra, semakin memperihatinkan.

Industri buku terbilang sehat adalah buku-buku teks untuk sekolah atau perguruan tinggi. Ini terbilang baik, karena memiliki segmen pasar yang jelas dan pembeli baru saban tahun.

Forum steemit ini sebenarnya bisa digunakan untuk mendongkrak literasi itu. Memperluas minat baca pada seluruh masyarakat nusantara. Pada akhirnya, minat baca diharapkan menjadi budaya. Layaknya masyarakat Jepang yang membawa satu buku kemana pun dia pergi. Indonesia pelan-pelan diharapkan begitu.

Bicara lebih lokal lagi, khusus Aceh, minat baca semakin memperihatinkan dengan ketiadaan toko buku yang refresentatif. Bisnis buku memang bisnis yang membutuhkan modal besar. Apalagi penjualan relatif sepi.

Di provinsi paling ujung Pulau Sumatera ini, tak ada toko buku besar seperti Gramedia, Toga Mas, Gunung Agung dan lainnya. Gramedia, menurut seorang managing editor penerbit itu sudah membeli tanah di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh untuk membangun toko buku. Tapi, entah kapan toko itu dibangun. Hitungan minat baca tentu menjadi alasan pebisnis buku membangun toko di Aceh.

Sehingga tak jarang di provisi ini kita kesulitan mendapatkan buku keluaran terbaru. Selama ini saya memilih pembelian daring atau jika sedang di luar kota berbelanja buku.

Itu pula membuat saya akhirnya memilih mayoritas menulis dalam bahasa Indonesia pada laman ini. Bagi Anda, terserah, silakan menulis bahasa apa yang Anda inginkan. Asal Anda nyaman, silakan. Jika tidak nyaman, dan penuh cacat di sana-sini tulisan, lebih baik tinggalkan. Kenyamanan adalah kunci menulis dengan benar.


image
Salam buat stemians semua, jika senang dengan tulisan ini silakan direstem, upvote dan follow saya.

@masriadi

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
34 Comments
Ecency