AKU MEMBACA PESANMU

Berapa purnama pertemuan yang kauminta selalu kuelak? Hingga di titik ketika kurasa kesempatan perlu juga diberikan, ketika permintaan berubah jadi permohonan. Seperti anak kecil, kau merengek. Kupikir akan jauh lebih baik jika pertemuan dibuat tanpa rencana. Nyatanya tidak. Dibayangi kekhawatiran dibuntuti mata-mata intelijen negara, rencana apapun tetap terbaca sebagai sebuah usaha. Maka, berbekal keteguhan hati, kurasa tak apa-apa jika jumpa dalam sepeminuman kopi.

Seseorang sedang menekuri cangkir putih di meja sudut sebuah kafe yang sepi. Ya, kau dengan jaket hijau army favoritmu. Kau sudah menunggu sedikit lama. Kautahu, aku pernah menunggu jauh lebih dari itu, jadi kau tak bisa mengeluh.

Lalu kisah-kisah meluncur tersendat. Kita jadi dua orang yang kikuk. Selain bertanya “apa kabar?” dan dijawab baik-baik saja, selebihnya basa-basi yang memakan menit sebelum menggenapkan jam.

Kausorongkan sebuah buku. Ah, ini melengkapi daftar kenangan, gumamku. Kau ingin berkata sesuatu, tapi tajam mataku lebih dulu mencegahmu bicara lebih intim. Lalu jarimu menunjuk daftar menu, merekomendasikan kopi sesuai perkiraanku. Tapi tak ada kopi favoritku di sini. Maksudku, kini kopi favoritku tak sama lagi dengan aneka pahit kopi yang dulu kita sesap.

Alismu tertaut, kautahu aku sedang menggelar jarak. Barangkali gemuruh dadamu ingin memaki, tapi lagi-lagi kau harus bersabar. Percuma memprotes, kau ingat apa yang membuat air mataku terurai di senja yang sewarna gula kapas itu, bukan? Aku pernah berucap, sedia menunggu, tapi tidak selamanya. Dan kau tergugu. “Aku tak bisa bersamamu.” Demikian ucapan yang meledak, dimulai dariku.

Kudorong kembali buku di atas meja yang kausorongkan padaku tadi itu. “Tidak perlu kautambahkan kenangan jika menyisakan kesakitan,” lagi-lagi kudengar suaraku sendiri bergaung. Kau pura-pura mengamati ponselmu lalu menunjukkan sebuah video. Seseorang lain sedang menyanyi. Hatiku mencelos. Kau piawai menyembunyikan banyak hal, tapi tidak kesakitanmu. Syair itu, kutahu adalah pancang kenangan lain yang tak bisa kauceritakan pada siapa-siapa, selain pada puisi.

Ya, aku telah membaca pesanmu. Tidak dengan cara klasik melalui selembar kertas dalam botol yang dihanyutkan gelombang laut lalu terdampar di depan kaki telanjangku di pasir pantai. Tapi ini pesan yang sampai melalui satelit dengan cara memantul-mantulkan dirinya di semesta cipta, lagu, dan nada.

Aku membaca pesanmu. Tapi dari pesanan kopiku, kau pasti membaca isyarat. Aku tak bisa bersamamu. Tak peduli soal waktu, aku tak sedia menunggu.

#ceritaRAB #RABbercerita #ceritamini #mengikatide #kopi

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
2 Comments
Ecency