PUISI DI TIKUNGAN MALAM

Kau bilang nanti, lalu bulan depan, dan selanjutnya mulutmu terkunci di kakus belakang panggung. Tanganmu mengeja bisikan hati, dan menuliskannya pada ember dan gayung. Sepotong cermin memenggal kepala. Di atasmu, rembulan tidak sudi mengusap rambutmu.


![image]( ***Image Source by [Pixabay]***(https://pixabay.com/id/photos/malam%20bulan%20purnama/)

Kau masih ditunggu oleh puisi di tikungan malam yang memeram kata-kata. Kau masih belum siap. Kata-kata masih mengembara di sela rambutmu yang beraroma kopi, kertas, aspal, minyak, batu-bara, gas, keringat siapa, rekening bank, soto, sofa, parfum impor, liur, dan seterusnya. Kau masih memanggilnya dengan selaksa pesan singkat. Matahari masih bermimpi tentang pucuk-pucuk singkong yang dilalap orang kampung tetapi kota. Setelah itu kau keluar dengan senyum selebar selokan menuju Monpera.

Dengan santai kau menaruh pantatmu yang belum cebok itu ke kursi plastik merah. Mungkin kau sudah menyalin puisi yang kau tulis di ember dan gayung tadi. Itu bagus. Coba simak dulu para penyair di panggung sana sebelum namamu menyusup di kuping para hadirin. Yang mendengar tidaklah lantas mencecar. Yang melihat tidaklah lantas menghujat. Malam puisi bukanlah malam jumat menguji nyali, yang memberimu keleluasaan mengangkat tangan lantas mengangkat kaki ke arah tempat parkir kendaraanmu.

Tidak ada gendruwo atau kuntilanak yang menjagai panggung di depan sana. Apakah selama ini kau mendengar gelaktawa terkekehkekeh selepas orangorang membaca puisi sesuka hati?Kau menggeleng. Itu bagus. Gendruwo dan kuntilanak memang selalu ada dan tertawa di sudut-sudut panggung. Tidaklah perlu berlebihan menuduh mereka bakal menggigit lehermu karena mereka bukanlah drakula.

Detak jantungmu terdengar lebih cepat daripada jeritan jangkrik di balik kayu-kayu. Matamu tergambar wajah angker guru bahasa dan killernya dosen sastra yang pernah kaulihat di sebuah blog. Apakah di sini ada guru bahasa atau dosen sastra yang biasa memberi nilai meski kau tidak pernah menahbiskan mereka menjadi hakim? Pernahkah kau dengar bahwa panggung puisi sama dengan pengadilan puisi? Kau menggeleng lagi. Itu bagus. Maka bacalah puisimu.


![image]( ***Image Source by [Google]***(http://ujare.com/kumpulan-puisi-cinta-sedih-paling-dalam-dan-menyentuh-hati/)

Malam puisi pun bukanlah penghakiman puisi. Sekarang saatmu. Sudah berbulan-bulan para kelelawar menantimu melesatkan setitik bintangmu melalui rangkaian manik kata. Si Titik dan Si Siti juga menanti sembari membanting lagu-lagu galau. Si Titok dan Si Titno sudah koprol berkali-kali demi mengatrol mentalmu yang ambrol bersama jembatan Tenggarong. Tapi ada debar yang menggedor-gedor dinding dadamu.

Ada ketakutan apa lagi? Lagi-lagi kau menggeleng. Itu bagus. Bukankah kau sudah mandi dan memakai celana? Kau mengangguk. Maka, sisirkan rambutmu lalu majulah. Berdirilah atau duduk saja di atas panggung sambil menggemakan puisi. Tidaklah perlu khawatir kau belum cebok. Dan tidaklah perlu seperti orang mandi dalam kakus di musim hujan. Namun kau tidak juga mau maju. Hadirin mulai menggerutu seperti suara cerutu terbakar api penyulingan minyak pertamina. Saling tanya. Silang sangka. Diam-diam kau bisikkan ketakutan. Ketakutan pada penyair dan puisi. Penyair utusan Mak Lampir. Puisi sayatan ayat-ayat suci.

Astaghfirullah ! Rupanya kau masih menyelipkan setangkup ketakutan dalam palung empedu. Kenapa kau takut pada puisi, bukankah duri jeruk kunci lebih perih menusuk kulit daripada sepucuk puisi disertai pergunjingan para penyair nyinyir dirasuki sunyi? Kau bangkit. Ini bagus sekali! Saatnya... Tetapi kau malah lari terbirit-birit ke kakus di belakang panggung lagi. Terdengar suara mencretmu bercampur raung tangis beserta satu kata berulang : IBU


![image](
![image](

Warm Regard @nafisah

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
4 Comments
Ecency