Kerja Editor Tidak Semudah Dibayangkan

7n4ixemno2.jpg
Beberapa tahun silam, saya pernah membaca sebuah status di media sosial milik seorang dosen kampus ternama di Aceh. Lebih kurang ia menuliskan bahwa untuk mejadi editor sebuah tulisan tak perlu memiliki keahlian khusus dan tak harus menjadi penulis yang andal.

Dari penjelasannya saya menganalisis bahwa untuk mengkritik dan mengedit tulisan orang lain lebih gampang dibandingkan menuliskannya. Seakan tak perlu menjadi penulis dulu baru bisa menjadi editor, cukup membaca lalu mengkritik.

Niat hati ingin membantah tulisan itu, tapi apa daya kemampuan saya dalam proses editing waktu itu juga masih sangat lemah. Namun setelah saya bergabung dengan Forum Aceh Menulis (FAMe), saya mulai mengetahui banyak cara kerja seorang editor sebuah tulisan, buku, dan karya tulis lainnya.

Pekerjaan editor sebenarnya tidaklah mudah. Bagi seorang editor justru menganggap lebih gampang pekerjaan menulis daripada mengedit. Edit yang dimaksud di sini adalah mengedit yang serius, mulai dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), logika bahasa, hingga teknik penulisan itu sendiri.

r2jfpk49iz.jpg
Setelah saya belajar editing bersama @yarmen-dinamika di FAMe, saya baru memahami dan menemukan jawaban bahwa mengapa nilai bobot akademik untuk seorang dosen lebih tinggi sebagai editor buku dibandingkan penulis buku. Padahal kalau kita lihat sekilas, paling lama itu menulis buku daripada mengeditnya. Ternyata menjadi editor tidak semudah yang dibayangkan.

Namun ada juga yang berani menuliskan namanya di sampul buku orang sebagai editor, sementara isinya sangat hancur dan banyak kesalahan dalam pengetikan. Bayangkan saya pernah menemukan sebuah buku dari judulnya di cover saja salah secara bahasa Indonesia, belum lagi pada subjudul yang mau ditulis “polisi” yang tertulis malah “polis”.

Saya iseng, pura-pura bertanya apakah buku tersebut ditulis dalam bahasa Melayu? Pemilik bukunya tertawa, ia mengakui bahwa itu typo. Belum lagi saya menemukan banyak sekali kesalahan semantik dalam penulisan buku tersebut, misalnya penggunaan kata depan “di” yang seharusnya dipisah, malah disambung. Misalnya “kerumah” seharusnya dipisah yaitu “ke rumah”. Selanjutnya “di laksanakan” seharusnya yang benar “dilaksanakan”.

Di kampus, saya juga pernah menemukan seorang dosen tingkat doktor tidak menguasai teknik menulis dengan bahasa Indonesia yang baik. Pernah sekali saya kritik power pointnya lantaran ia menuliskan kata “merubah” dalam beberapa slidenya. Saya protes, penggunaan kata “merubah” tidak benar jika kata dasar yang dimaksud adalah “ubah”. Jika ditambahkan awalan “meng” maka menjadi “mengubah”. Tidak ada dalam bahasa Indonesia awalan “mer”. Rubah itu nama jenis binatang.

xqama15l08.jpg

Begitu juga kesalahan lainnya yang kadang dianggap sepele, misalnya kata “menikahkan” dengan “menikahi”. Dalam sebuah buku, tidak saya sebutkan judul buku tersebut menulis, “Bapak Pulan menikahi anaknya” padahal yang dimaksudkan penulis di situ adalah “menikahkan anaknya”. Kalau menikahi, berarti ia menikah dengan anaknya sendiri, kacau kan?

Ketika saya menulis postingan dengan tema seperti ini bukan berarti saya sudah bebas dari kesalahan, tidak juga. Saya juga manusia yang juga masih dalam tahapan belajar menjadi editor yang baik. Kami bersyukur memiliki guru seperti @yarmen-dinamika yang mau mendidik kami tanpa pamrih di FAMe.

Salah satu cara kami membiasakan diri dengan bahasa yang baku yaitu dalam grup whatsApp pun kami berkomentar sesuai PUEBI. Jika satu kata saja salah kami tulis, akan mendapatkan kritikan dan perbaikan bersama-sama. Oleh karena itu, mari kita menjadi warga negara yang baik dengan menggunakan bahasa dengan benar, karena bahasa adalah identitas bangsa.[]

Thanks for dropping by

d3uirht5hg.jpg

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now