Bagi orang luar Aceh belum dianggap sah pernah ke Aceh sebelum menginjakkan kakinya di Mesjid Raya Baiturrahman (MRB). Demikian pula masyarakat Aceh yang berkunjung ke Banda Aceh, seperti belum lengkap saat pulang ke daerah tanpa membawa gambar dirinya yang berfoto di depan MRB. Hal seperti itu tidak berlaku bagi yang sering ke Banda Aceh.
Mesjid kebanggan rakyat Aceh tidak pernah sepi pengunjung. Mulai dari menjelang fajar, sampai fajar lagi, selalu saja ada yang datang untuk beribadah kepada Allah SWT. Terutama shalat lima waktu. Berbeda dengan wisatawan, biasanya pengunjung wisata ramai pada waktu dan hari tertentu.
Tilawah dari pengeras suara di MRB terdengar sampai ratusan meter di seputaran mesjid. Dengan pengeras suara masing-masing, hampir seluruh mesjid lainnya di kota Banda Aceh juga memutar tilawah yang sama, yang diterima melalui gelombang radio.
Setiap menjelang senja di Kota Banda Aceh, alunan irama tilawah terdengar seragam. Ketika alunan ayat Al-Quran dari pengeras suara mesjid sudah berbunyi, itu tandanya matahari akan segera padam, maghrib segera tiba. Aktifitas akan dihentikan sejenak, sampai waktu magrib usai.
Satu persatu lampu mesjid dihidupkan. Perlahan warna langit berubah gelap. Hanya di ufuk barat masih terlihat cahaya kuning keemasan. Cahaya isyarat untuk mengganti malam. Pengunjung yang berada di halaman masjid terlihat sibuk mengabadikan foto pada moment senja yang hanya sesaat. Cahaya senja Mesjid Raya sangat indah.
Azan berkumandang. Segala aktifitas di Mesjid Raya Baiturrahman harus dihentikan, begitu bunyi pengumuman yang tertulis di halaman mesjid. Pengumuman itu ditujukan kepada pengunjung yang beraktifitas selain untuk ibadah di pekarangan mesjid. Cahaya-cahaya mesjid terus membesar, seiring semakin gelapnya cakrawala.
Mesjid Raya Baiturrahman semakin bersinar setelah dibangun 12 unit payung besar di halaman mesjid. Tempat wudhu, toilet dan parkir ditempatkan di basement mesjid. Pengunjung semakin meningkat, tentu jamaah shalat lima waktu juga meningkat.