This content was deleted by the author. You can see it from Blockchain History logs.

Lagipula, kepada siapa kita hendak bersandar dan bergantung, jika bukan kepada Allah, bukan?

Siang tadi, saat Dzuhur tiba, cuaca sedang terik-teriknya Maasya Allah.
Saya yang saat itu sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah setelah membeli lauk untuk makan siang adik saya, lantas memberhentikan motor saya sejenak, tepat di depan gerobak es dawet, hendak menyegarkan kerongkongan sesaat.
Tapi ternyata penjualnya tidak ada. Setelah celingak-celinguk sesaat, seorang ibu penjual kue di samping gerobak es dawet ini menjawab “celingak-celinguk” saya,

“Bapaknya sedang shalat Dzuhur, dek”.
Saya sedikit tertegun dan menjawab,
“ooh..iya ibu. Terima kasih, gak apa-apa saya tunggu aja sebentar, hehe”.

Tak lama, datanglah seorang Bapak Tua yg rambut-rambutnya sudah tak lagi hitam. Perawakannya yg tak lagi muda, membuat keriput-keriput di wajah dan tangan Beliau terlihat jelas. Dengan ujung bawah celana yg sedikit tergulung, tampak sepasang sandal jepit yg beliau gunakan.

Beberapa detik saya pandangi Beliau, karena entah mengapa Beliau membuat saya teringat Kakek saya di kota Langsa sana, rindu tiba-tiba menjelma.

“Mau beli es dawet ya, Nak?”
“Oh, iya Pak. Satu bungkus ya, cendolnya sedikit aja ya Pak, hehe”
“Oke, sebentar ya”, Beliau tersenyum.

Tampak pada wajahnya bekas-bekas air wudhu.
Gurat-gurat bahagia nan menenangkan.
Sembari menunggu Beliau menyiapkan es dawet saya, saya iseng bertanya,

“Gak apa-apa Pak, dagangannya dibiarin ditinggal Shalat gini aja?”,
“Engga apa-apa, insya Allah Nak, hehe”
“Gak diganggu orang, gitu Pak?”
“Selama ini insya Allah engga ada Nak, alhamdulillah. Saya selalu titip ke Allah tiap mau ninggalin dagangan ini”.

Saya fikir, orang-orang seperti Beliau hanya ada di tokoh-tokoh film saja. Tapi kali ini, saya berhadapan langsung tepat dengan Beliau.
Agak sedikit menyentil, mengingat betapa banyak penjual yg tidak bergeming meski adzan telah berkumandang. Berpura-pura seakan mereka tidak mendengarnya.

“Ini Nak”
“Oh iya Pak. Makasih ya Pak”.

Sepanjang jalan pulang Saya tak henti-henti berfikir, di usianya yg sudah tak lagi muda, ada semangat dan jiwa muda yg mampu membuat Bapak ini masih ringan menapakkan kaki untuk menunaikan jamaah, meski harus meninggalkan dagangannya yg tentu saja, saat Beliau shalat pasti ada orang-orang yg tidak jadi membeli, yg dulu sempat saya sebut “rezeki yg terlewatkan”.

Tapi lucu, kenapa harus khawatir dengan “rezeki yg terlewat” jika kamu bahkan “melewatkan” panggilan sang Maha Pemberi Rezeki?
Lagipula, kepada siapa kita hendak bersandar dan bergantung, jika bukan kepada Allah, bukan? image